Tuhan ijinkan aku melangkah kebintang bintang disana Semalam saja Aku dan dia dalam kesepian Biarkan kami bertemu dan saling menyapa untuk membunuh sepi yang menyayat ini Semalam saja
Malam ambil aku kembali Aku terlalu asing untuk siang dan dunianya Aku rindu bulan, bintang, angin malam Orkestra serangga, gemrisik semak dan semuanya Bawa aku kembali malam Aku terlalu asing disini
Di sudut-sudut kamar ini hanya sunyi yang kutemui Tak ada cerita Tak ada nanyian Tak ada tangisan Atau canda tawa Benar-benar khusyuk dalam sunyi Aku terpekur di satu sisi Diam mendengarkan berharap dinding-dinding bercakap-cakap Hingga kutahu apa yang terjadi di kamar ini, tadi, kemarin, dan kemarinnya lagi
Semenit mendekat 10.30 Semenit meninggalkan 10.28 Entah dimana Tempat ini diam tapi kian melaju Menulis dan menghapus Berpijak atau membeku disana? Entah Yang kutahu sekarang masih 10.29 Semenit mendekat 10.30 Semenit meninggalkan 10.28
Aku pencemburu malam yang sabar menjaga mimpi-mimpi Aku pencemburu awan yang ikhlas membagi hujan kehidupan Aku pencemburu siang yang telaten membimbing jiwa-jiwa Aku pencemburu kemarau yang kebal akan cacian dan hinaan Aku pencemburu alam yang diam dengan semua kesengsaraan Aku pencemburu burung terbang yang bebas melayang tak terikat Aku pencemburu bintang sang penunjuk arah dan tujuan Aku pencemburu lautan yang sabar tabah menampung curahan air Aku sungguh-sungguh hanya sang pencemburu Maafkan aku Tuhan
Aku mengoyak luka kekasihku dengan cinta dengan kata hilang makna sirna Mengurai badai saat kemarau ceria Datang dengan tiba-tiba Lidahku mengeras baja membatu menusuk raga Lagi-lagi atas nama cinta Aku menusuknya dengan bara Oleh masa tak terulang namun urung terlupa Sungguh hina diri, malang Aku petir yang memaksa air berpisah dengan awan Menguap dan hilang Aku menyerapnya dalam kelam dengan kesunyian hampa Padahal dia siang yang periang dengan pelangi di ujung harinya Sungguh aku pembunuh jiwa atas nama cinta
Sepanjang kata yang tak lekang mengurai makna cita, cinta sedih, perih sendu, pilu hina, dina asa, bara kelam, cahaya buram, warna siksa, luka iris, tangis Masih bisu berteriak dalam kesunyian tak terdengar Suaraku masih tak terdengar Aku bisu oleh kata
Merdu denting gerimis Harum tanah yang melepas kerinduan pada sang hujan Awan berkabut berarakan menembus dinding gunung mencari peraduan sebelum malam merunggut cahaya Air hujan mengalir, sekali kali menggoda kakiku yang telanjang genit Gemulai burung-burung hitam Menari menyergap dalam diam Aku terpaku terpukau Inikah surga Tuhan, yang sering Engkau janjikan?
Ijinkan aku tidur Tuhan Kala malamku begitu panjang dan pagi enggan datang Ijinkan aku tidur Tuhan Saat doa-doaku mulai palsu terucap beku Ijinkan aku tidur Tuhan Ketika langkahku tak lagi menyatu pada hati dan tujuanku Ijinkan aku tidur Tuhan Jika inderaku pergi pada hati yang pelan mati Ijinkan aku tidur malam ini Tuhan Sungguh aku terlalu lelah untuk bersyair lagi
Aku pulang tengah malam Saat tak ada kata yang merayu atau mendusta Aku pulang tengah malam Membawa kelam di tangan dan hatiku Aku pulang tengah malam Saat kalian terlelap mengendap tak ingin kalian merayakan kehadiranku Aku pulang tengah malam Saat batas menjadi kabur dan masa menjadi ambang Dan masih aku pulang tengah malam Mungkin selalu Janganlah kau tunggui aku Malam ini aku pulang tengah malam
Sekilas temaram di balik ringkih detak nafas bergejolak tak bersuara Menyerap jiwa Aku butuh air, wahai pujangga yang mendinginkan gelora, wahai pecinta menggemburkan ladangku, wahai kelana mendewasakan cintaku, wahai yang kucinta Padamkan baraku, tolonglah wahai kalian semua
berjalan diantara trotoar lusuh dengan kaki telanjang merasakan cipratan comberan dengan percik gerimis hujan dan deru petir bersahut pilu malam mulai menyergap bayangan kelam dalam diam cerita indah menyambut malam setidaknya tidaknya untukku
Tolonglah aku kehilangan kata yang menyampaikan cinta yang meneriakan luka yang meramaikan cerita yang menembus dinding masa yang mengurai makna yang menemani tawa yang yan ya y .
Menjadi yang tak terdefinisi diantara kata Atau terbuang diantara onggokan masa? Hitam diantara gulita Tertimbun di lorong-lorong cerita yang mengalir tak biasa Hidup kadang untuk ada atau mungkin lebih baik jika menghilang dan musnah saja?
pergi pergi pergi sunyi sunyi sunyi lari berlari hampar terbentang juang dan harap sore dan pagi, silih berganti membalik lembaran menindih ditempat terberat berlari lari ramai ramai ramai lalu?