Posts

Showing posts from 2012

Tentang hujan

Masa hujan berhenti akan tiba Lekas atau tertunda Dia takkan lama pun dengan kenangannya Janganlah engkau benci ia Tak selamanya tetes-tetes itu menyakitimu Kemarau tak berasa tanpa ada harap hujan akan sirna Biarlah dia ada, ketika kau jenuh dengan kemaraumu Walau sekilas, hanya dia yang bisa mengantarmu ke pelangi yang kau damba. pun, dia sungguh-sungguh ingin engkau tak tau tentang itu

Pagi dan hujan semalam

Tanah mungkin sedang berbahagia pun rerumputan kurasa Burung pagi berkicauan saling menyahut berdendang lagu bahagia kurasa Pagi menyambut cinta dan embun Yang semalam panjang dicucurkan awan tak terkira Derap-derap senyum melangkah Mendung membayangi semua penjuru langit Kurasa semua bahagia Tapi tidak untukku Untukku hujan yang hilang tinggal bekas. Aku ingin bersama kalian Dengan persangkaan yang kusangkakan. Pada pagi dan bekasku yang kutinggalkan

Malam Panjang

Malam ini akan kubuat panjang sepanjang ingatanku untuk mengenangmu detik demi detik laju demi laju kisah demi kisah Mulai detik pertama aku salah lokasi ketika kita sepakat bertemu, yang membuatku telat menepati janji Hingga tadi, sekilas yang lalu yang akan menjadi masa yang lama, ketika aku membaca ini kembali Kumulai darimana? Aku ragu.. jika harus bercerita, menuliskan secara telanjang disini Baiknya mungkin kudiam Diam yang panjang Sepanjang malam yang ingin kubuat panjang ini. Malam yang panjang, untuk mengusir ketakutanku ketakutan yang nyata ketakutan hadirnya pagi dan hadirnya masa itu, walau berat sungguh hati sudah berusaha keras untuk merelakan suatu yang pasti

Hujan dan november

Kiranya mereka berteman, Seperti dulu Selalu sehati ketika berbicara tentang bunga-bunga, pagi, senja dan malam Sekarang? Benar? Hujan urung datang, sekali datang malu-malu tanpa sapa, hanya bekas tanah-tanah basah yang dia tinggalkan tapi untuk apa, ketika dia sudah tak disini November selalu datang, mengantarkan kepergian sang oktober dan bersiap menyambut desember sedikit sapa, bersama awan-awan putih yang gelisah karena hujan tak lagi bersama dia Perselisihan macam apa, aku tak tahu Mereka saling membisu dan lekas berlalu meninggalkan jejak-jejak sunyi Pada jalan-jalan yang pernah mereka lalui bersama. Entahlah.. Mungkin mereka sedang bosan, atau mungkin sedang ingin menyendiri tapi bagi mereka Akulah yang kesepian karenanya

Dari kejauhan

Nun jauh Nanar terlihat, sesosok bungkuk berjalan pelan terseok Pelan melahap jalan, demi mengejar bayang Meninggalkan desir di hati pemuda yang memandangnya Pandang mata mengabur hatinya bertanya "Diakah aku pada hari nanti?"
Lelaki lusuh, disudut ranjang yang pernah mereka tempati untuk duduk berdua, saling bercakap, saling bercerita, saling menghibur, bahkan terkadang saling menyakiti walaupun akhirnya (pernah) saling berbaikan lagi, memandang nanar jauh keluar. Ke jendela tanpa tirai yang menyerbak warna abu langit pagi hari. Ya, di suatu pagi. Pagi di hari sabtu, 6 Oktober 2012. Mata sebam, garis matanya tampak jelas ingin bercerita satu malam sebelumnya dia tidak tidur. Beban yang teramat berat masih dipikulnya, tampak jelas dari rona matanya. Dunianya berhenti, sedangkan dunia yang lain sedang berlari riang meninggalkannya. Jiwa-jiwanya merangsek mundur, melihat dengan jelas setiap detail kenangan yang pernah dia dan ... jalani bersama. Penyesalan yang berubah menjadi beban berat menggunung di ruangan yang berantakan itu. Kertas-kertas, buku, baju yang berserakan tidak karuan mewakili semua yang tidak bisa ia katakan. dan... Aku tak ingin menjadi aku lagi disini. Biarlah kehancuran menjadi

Merinduimu

Bolehkah aku merinduimu dalam senyap? Dalam diam yang berpanjangan?

Pagi, selamat pagi, bagimu pagi

Tak biasa aku menulis ketika pagi menjerang sinar mentari. Jika aku bicara pagi pada masa lampau, maka sungguh itu pagi dimana hari diminta beranjak dari malam yang selalu kuharap panjang menenangkan. Walau harapanku tak selalu begitu. Ketika terbangun di pagi ini, rupanya sinar-sinar itu masih enggan datang walaupun terang tak pernah bisa dihadang. Aku terjaga, menghadapkan wajahku ke barat jauh, dan sampailah aku di sini, di pagi ini. Semalam, larut menjelang hari berganti aku saat beranjak hendak ke peraduan, aku terusik dengan catatan Madilog-nya Tan Malaka. Ditulisnya apa yang pernah dia lalui, apa yang dipikirkan, apa yang dia harapkan. Catatan ringkas yang terbawa hingga aku bermimpi kemana-mana, sampai di dalam mimpi itu aku bertemu denganmu lagi.

Pagi, kisah embun dan daun

Di ujung pagi Jiwa-jiwa melayang bersama embun mencari dedaunan yg teduh, untuk bercumbu Sebelum terang datang, bersama angin kemarau yang kering mencekik. Lalu masa itu berlalu Tak terkenang, kerontang bersama jiwa-jiwa yang takut pagi menghilang dengan segera. Di ujung itu, dimana daun menggigil oleh cintanya. Oleh kerinduannya, pada embun embun yang tenang.

Saat nanti

Nanti, ketika bumi enggan berteman lagi dengan cahaya maukah engkau duduk denganku bercerita tentang yang pernah, ada dan akan ada? di pojokanpun tak apa Nanti, ketika senja enggan pulang maukah engkau menemaniku menghirup secangkir kopi sisa yang mulai dingin, di teras depan gubukku? memandangi surya hingga malu sendiri Nanti, ketika malam tak lagi sunyi maukah engkau menenangkanku menyelimutiku dengan perca-perca kain yang tak mungkin utuh lagi membiarkan sunyi-sunyi datang sendiri Nanti, ketika aku membenci pagi lagi maukah engkau menghiburku, menghalangi dadaku yang meluap meluap membawakanku setetes embun terakhir yang datang untukku mandi, membasuh resah-resahku. Nanti, ketika dirimu tak disini lagi maukah engkau menolehkan wajahmu, ke arah dimana aku duduk selamanya mengingatmu dengan mesra untuk yang pernah kamu lakukan, dan membuatku menangis tiap malam. Nanti...

Ujung senja

Pun kelu kata-kataku Bersembunyi entah dimana disaat hati merintih meminta untuk duduk bersama Di ujung sana ada mimpi yang nyata tentang bidadari yang diam membisu dalam kesunyian Pun kata-kataku Bayangku beranjak lelah bergerak mengabur ke timur Meninggalkan sepi untukku Kelu Di batas ini.. Ketika aku merasakan kehilangan dengan sangat Sepiku meramaikanku.. Entah dengan apa aku tak tahu.. Di batas ini.. Bintangku mungkin muncul Diantara angin kemarau yang gigil Mengguncangku Di batas ini.. Aku membisu bersama kata-kataku Mengenang yg masih bisa kukenang Entah untuk apa.. Di batas ini.. Aku ingin melangkah, mungkin ke barat jauh tempatku memandang tumpukan awan yang berkejaran mencari peraduan.. Lalu sembunyi di sana.. Di batas ini...

Dia

Dia keheningan yang dirindukan keramaian tak perlu saling diam dia yang mengisi pundi-pundi hatimu Dia kekeringan yang diharapkan awan-awan tak perlu menunggu tahunan karena dia mampu meminta sang surya berdiri berlama-lama Dia kedamaian dalam keriuhan hati-hati yang jenuh penuh kesumat dibelainya, lembut menentramkan.. Dia yang mengetuk sejenak pintu-pintu rapuh berdebu. Menanti bintang yang enggan jatuh Hanya dia.. yang mampu membawaku kesini .

O.. Lelaki dan bayangan

Lekat di jalan dipandanginya punggung sang lelaki lusuh apa yang dia rasakan tak terlintas pun surya yang berderak cepat ke peraduan di balik gunung Lekat matanya menembus silau pada jingga yang memekakan bisikan di belakangnya tak terdengar Pun wujud semakin memanjang meninggalkannya Lelaki dan bayangin saling diam Menelanjangi masing-masing tentang kefanaan dan kesunyian Diam membeku tak beranjak sedari tadi Masing-masing bicara pada dirinya sendiri entah perihal apa..

Percakapan sepi

Di ujung jalan, tidak ada pijar, gelap menerawangi setiap sudut jengkal kehadiran. Suara desir daun yang bergesekan, serangga yang berderik bersahutan, sesekali ranting ikut tergesek diantaranya oleh sapaan angin seolah ingin memberontak, muncul dan menggugat kelam yang begitu berkuasa. Desah itu tak terlihat, bahkan diantara desau dan desis. Ujungnya tak terlihat, tapi niatnya meletup berapi-api. Andai, api itu menjilat sepah pelapah yang bermandikan minyak jelantah, pasti merona. Tiada yang menebak, dibalik sesosok hitam serupa apa warna hatinya.

....

Hidangan sepi. Seharusnya ada yang terserap, dalam rindu dendam diam. Dendang remang dan ramang dari embun yang menyerupa kabut yang berjalan diam-diam Segalah kebelakang, baginya sejarah dari untaian kata yang hilang, tak semuanya dan tak pernah penuh utuh Lalu?

Secangkir Pagi

Sepi, terserap habis semua kicauan riang di ujung sana, tanpa sisa sekalipun Aku terjaga sesaat dari yang kuharapkan sebagai kenyataan, dan ternyata itu bukan. Kutampar pipiku dan sekali lagi kusadari dengan kenyataan penuh, itu dan tadi adalah mimpi, bukan kenyataan yang kuharapkan. Mendesir didadaku, rasa yang begitu akrab denganku. Pahit. Sejenak aku terdiam, memanggil kembali perca-perca jiwaku yang enggan beranjak dari sana, walau dengan sadar kuharap semua jiwaku bisa kembali kesana dan bersepakat semua, bahwa disana adalah kenyataan yang sesungguhnya. Hingga kusadar terlalu naif semua harap dan anganku, bahkan untuk membayangkannya sekalipun. Sejenak berlalu dan aku tersenyum.  Tersenyum untuk alasan yang tak pernah kutahu. Dan kusadari dengan setengah penuh kesadaran, hanya akan membuang waktuku jika aku memaksakan untuk menemukan alasan-alasan itu.

7 cm per detik

pada itu daun-daun menyapa tanah mungkin lebih lambat mungkin lebih cepat kerinduan dan kesepian berjarak disetiap jengkal waktunya seharusnya...

Rindu di atas kertas

Yang membisu di atas kertas Coba runtuhkan asa Doa-doa lewat angin bulan juli yang mendesak menderu mencari puja dan harap Debur hati, berbentur karang baja yang terbentuk dari diam dan diam Harapku membuncah Pada langit yang membiru cerah Rinduku mengudara bersama doa Menemuimu disana Di atas kertas

Mengejar bulan

Bulan di akhir masa penghujan Malu-malu bersembunyi dibalik awan Sepotong hadir dan sepotong yang hilang. Bersamanya sebuah pesan di alirkan pada jiwa-jiwa malam yang tenang. Jiwa-jiwa yang berkerjaraan pada roda yang bergulir tanpa henti. Kencang ke timur jauh.. Mengejar sesosok yang hilang separuh

Angin musim kemarau

Yang datang dengan lembut Wartakan perginya hujan dan awan-awan Pada malam yang gemerlap, oleh bintang dan sepotong bulan Juli sebentar lagi tiba Kerinduan berharap segera musnah Digantikan malam-malam yang kelam Panggung bagi serangga malam yang pemalu, kelap-kelip pelita, bulan remang redup yang anggun, serta desis angin musim kemarau yang merdu setelah menempuh jalan panjang dari timur jauh. Kuucapkan selamat datang kenangan pada panggung sunyi ini.

Senja di awan

Perpisahan sejenak hadir Mengurai kebisuan demi kebisuan Jinggamu merajut panjang dari ujung ke ujung. Pelan awan beranjak Mengejar semburat yang semakin meredup, di ufuk barat Dekat pantai dimana kita pernah menghabiskan tawa bersama di suatu sore yang teduh.

Sebak kesunyian

Dalam diamku aku berteriak Menebar sesak, terhantam karang-karang sebak Lalu kembaliku terdiam Meresapi beban, mengalir disetiap malam Rinduku tak membuncah Hatiku tak berdegup Hariku saja yang diam, ada yang tak ada Yang tak bisa kuungkapkan pada dinding, lantai dan awan-awan

Rintik dan rinai

Apa mereka berebut peran? Atas siapa yang berhak menemani hujan? Atau mereka saling merelakan? Masing-masing untuk menjadi yang didepan Lupakah? Kenapa tak kau tanyakan hujan, dengan siapa dia ingin ditemani Atau tak kau tanyakan pada awan, yang mengandung hujan, siapa yang layak menemani Sebaiknyapun jangan kau lupakan matahari yang membantu hujan-hujan itu berderai mencumbui tanah antara rintik atau rinai yang layak disandingkan dengan hujan. Atau sempatkan untuk menanyakan pada bulan-bulan yang padanya disekatkan alamat kapan hujan datang, mana yang layak mana yang tidak Rintik atau rinai? Yang kau persoalkan ketika mereka hanya membisu, menunggu giliran untuk mendapatkan peran.

Sunyi

darahku mengalir semakin dalam menumbuk jiwa-jiwaku yang lunglai lalu terurai, memburai ke penjuru arah terpekur dalam diam yang berkepanjangan tik tok tik tok..

Di dalam cermin

Di dalam cermin aku melihat pelangi yang dilukis dari jelaga Membentang dari ujung selatan ke ujung utara Menaungi para petani yang tersenyum menjenguk padi-padinya Di dalam cermin aku melihat tumpukan permata dalam arang Berserakan, dijadikan mainan anak-anak sembari berkejaran Dilemparkan kesana kemari Di dalam cermin aku melihat kabut yang putih Menggumpal berarakan, menyelimuti setiap desa yang disinggahi disapanya setiap penghuni desa tua muda, pria wanita.. Di dalam cermin sore memikat matahari, diulurnya pelan-pelan meninggalkan gelanggang Urun hilang, tangis tak kutemui bahkan di sela-sela ilalang yang paling pendiam Hilang air mata Di dalam cermin

dua tahun, suratmu

harusnya, kau bacakan ini untukku saat aku terlalu berbahagia menikmati musim semi harusnya, kau hembuskan ini untukku saat aku mulai terbuai dengan rintik salju harusnya, kau ceritakan ini untukku saat aku tersadar dari mimpiku harusnya, kau bisikan ini padaku saat hanya hening yang menemaniku harusnya .....ataukah harusnya, ini kubaca dua tahun lalu saat aku mulai belajar mengenal musim dingin harusnya, ini kurasakan dua tahun lalu saat aku belum puas menikmati panas yang berpanjangan harusnya, ini keresapi dua tahun lalu saat aku belum terbuai mimpi harusnya, ini kudengar dua tahun lalu saat semua terasa gaduh untukku harusnya ....masihkah ada? diriku disana disuratmu itu, yang baru kubaca dua tahun kemudian.

Gadis kecil dalam kereta

Bagi yang berlalu lalang, boleh kutanyakan kemana angin membawa kita? Walau dalam hati Pada lentera yang berlarian ke belakang menjauh Bolehkah kutanyakan kapan dunia ini akan kembali berwarna? Lepas dari kepekatan malam Hanya dalam hati Pada pemuda di depanku yang tertidur lelap sedari tadi Bolehkah kutanyakan dimana perjalanan ini akan berakhir? Dalam hati Kepada ibuku yang berpeluh tak lelah memelukku Kemanakah tidurku yang lelap pergi membawa angan dan mimpiku? Dalam hati Kutanyakan pada cermin yang memantulkan wajahku samar Bolehkah aku bertanya? Apakah hatiku mempunyai jawaban semua pertanyaanku?

Sore-mu

Hujan menyapa disana di ujung barat, dimana pelangi tersenyum tersungging manis Lalu awan-awan berarakan ke selatan jauh teratur, berbaris Entah burung walet kurasa melulanglai lambai, kesana kemari mematuk dan berputar menghindar dan menyergap rerintikan yang mulai menggumpal lebat Lalu aku berdendang sumbang tentang yang selalu terkenang pecinta kupu-kupu Lagu kupu-kupu Yang kulukiskan pada sore yang mulai meredup Milikku yang terpatri padamu, sore Yang selalu merindukanmu bersamaku Padamu sore-ku dan sore-mu..

Kamu

Dalam desah nafasmu aku hidup untuk menjaga mimpimu sepanjang malam hingga kau terjaga Darahku tak sebiru samudera tak sebiru hamparan langit Tapi aku pemimpi yang bertarung menjaga bintang agar tetap gemerlap diantara tidur dan terjagamu Mimpi-mimpi yang kusadar telah kausemai pelan, pelan, pelan hingga menancap erat diantara raga dan kalbuku Bayangmu menjelma kalbu yang hinggap di pelupuk mataku tak terlepas diantara tangis dan tawa Kesadaran yang kubangun, dari rajutan benang-benang asmara pelan, pelan, pelan hingga membungkusku erat dalam ada dan ketiadaan Dalam dahagaku engkau hadir mengaliri setiap rongga-rongga kekeringan ada dirimu yang tak pernah kumengerti hanya bisa kurasakan, ada.... kamu

Bayangan

Dalam bisu, kesetiaan yang banyak bicara. Pelan-pelan menapaki jejak demi jejak menuju perpisahan. Badanmu rapuh, tidak dalam kesunyian. Cukup pijar temaram, yang memberimu keabadian.

Selamat jalan

Angin enggan berbisik Rumput tiada yang bergoyang Tanah basah semerbak harum seusai bercumbu dengan hujan Desir suara jangkrik hilang datang Matahari entah kemana Mungkin lelah, mungkin berselimut awan di bawah temaram bintang. Lalu bayang menyerbu Mendengarkan suara doa-doa lirih Pada yang merasuk ditanah Lepas raga, sisa kehadiran Tak ada yang bersuara, disore yang mulai menitikkan gerimisnya

Abu

engkau pergi sesaat lalu secepat engkau datang secepat engkau pergi kita sejenak saja engkau menyala-nyala lalu jadilah aku, serakan debu yang lupa siapa diriku sebelum engkau membakarku

jejak sore

Dibelakang menjauh kereta meninggalkan apa yang tidak bisa dibawa lagi Jejak-jejak pagi yang terlupakan sore.. Melaju cepat mengejar jingga yang sementara

Lentera Malam

Dalam jejak malam, mata-mata mengerling dari ujung ke ujung menggoda kunang-kunang untuk berdansa di lantai taman Pada bayang aku beradu berselisih menentukan siapa orang siapa bayang di bawah mata-mata malam yang mengerling

Cinta Pagi

Keselamatan bagi pagi yang mengijinkan embun mencumbu ilalang kering yang kehausan hingga hingar cantik bersiap menyambut sang kekasih Keselamatan bagi pagi yang meneteskan kembali tinta warna yang sempat hilang dicuri malam hingga dunia kembali berseri disetiap jengkalnya Keselamatan bagi pagi yang mengijinkan kesadaran kembali ke peraduan hingga bumi bergerak pelan penuh gairah Keselamatan untukmu dan pagi Untuk doa hari ini, sebelum haus datang, warna hilang dan gairah memudar kembali

Bayang-bayang purnama

mengharap cahaya purnama cukup untuk menerangi rinduku yang remang dimalam yang semakin larut gulita membuat sebuah bayang-bayang yang bisa kudekap erat

Langkah

pada mulanya aku takut tanah sejengkal didepan basah penuh lumpur yang akan menyerapku dalam-dalam pada mulanya aku ragu sejengkal yang kutinggalkan dibelakang penuh kenangan yang membuaiku tinggi-tinggi pada mulanya aku bimbang kiri dan kananku sejengkal curam penuh curam gelap gulita penuh pedih dan derita sesaat ini. aku masih disini takut, ragu dan bimbang yang tanpamu menuntunku pelan-pelan

arang

aku kayu diantara para kayu bakar menunggu kau cumbu dengan cintamu yang menyala hingga engkau menari gemulai membakarku kuyakinkan engkau masih menyala, menggelora walau pijarmu telah memudar sesaat lampau Memecah setiap rangkaian karbon yang kumiliki hingga ku luluh lantak menjadi abu diantara abu samudera abu

Jalan Panjang

Yang berawal, ____________________________ Irama melantun mengiringi langkahku berderu, dari pijak ke pijak melewati masa yang berirama sendiri diantara ilalang dan perdu-perdu Perca-perca bayangan mengurai tercecer, dari pijak ke pijak yang kubiarkan tertinggal, hingga dimasa nanti tiba bisa kuambil kusatukan dalam ruang rasa Pada perjalanan, angin membisikan dayu demi dayu awan bergejolak gemulai mencumbu bulan yang beku, dingin Seperti rasa, aku beranjak dari entah ke entah berlalu layak angin menyapa layang-layang sekilas dan menghilang Langkah ini membawaku terus menjauh, ke antah berantah Yang membuai _____________________________ Bulan mengintip disana, sahabat lama tersenyum padaku pada satu rasa yang kurasa dia memang tersenyum padaku Irama saat itu tepat dimasa yang sebentar berlalu aku rasa, aku begitu dekat sangat dekat sangat mesra dengan apa yang kuyakinkan itu cinta.. Mungkin, yang kurasa kian menghilang berbaur dengan awan-awan yang

Tanpa nama

Jika aku tak punya nama, lantas aku tak boleh bersuara? Lalu siapa yang bisa tertawa? Lalu siapa yang akan menangis? Boleh siapa menjadi bagian ilalang? Atau gemericik saja? Masa ini memakan debu menyebarnya dan menghembuskannya menutupi mata-mata hati. Andai engkau begeser semeter saja mungkin aku akan punya nama.