Posts

Showing posts from 2010

Trompet

Trompet-trompet bersahutan memanggil meruntuhkan dominasi dinding-dinding dingin yang menggigil diantara bulir angin kemarau Kami terpukau, bukan karena merdunya karena tangisnya yang menyayat Tak mungkin kembali menarik waktu ke peraduannya semua sudah berubah menghisap yang berlalu Kami tak menyalahkan trompet bahwa waktu telah menggilas kami pada kegelapan yang berkepanjangan lagi dan lagi dan lagi -----trompetpagi------

Freeze

For the time that need consume a life We need, just little space on the sky between atmosphere and you Time, that running over age, over stories need break to relax and stay. Tell all the stories about anything. about me, you and us. Or someone else Whatever

Bisu

Hilang kata membisu pilu diantara semak dan perdu seharusnya memang kami berteriak sesaat sebelum kami beku

di satu masa dan tempat

Getaran kimiawi membawaku mundur selangkah demi selangkah diperhentian lampau disatu masa dan tempat Aku terkukung oleh sore hujan gerimis, dendang nyanyian penghuni sawah yang bersiap menyambut malam ditengah kebun tebu disuatu masa lampau Aku mulai bernyanyi pada diriku dan pendengar yang bersembunyi dibalik semak tebu tentang masa dan tempat yang tak terlupakan disatu masa dan tempat

bahwa kami

bahwa kami bukan burung yang terbang bebas menembus awan bahwa kami pengicau yang meniupkan kisah lewat bisikan perantara angin tentang harmoni alam orkestra kesenyapan kami bernyanyi nyanyi berkicau bahwa kami tak bersayap dan tak bisa terbang bahwa kami bukan layangan kami masih bisa menembus zaman dengan kicau dan sedikit kebohongan

Cahaya Jingga

Tak ada lagi yang menyapa ketika senja tiba seperti waktu-waktu yang lalu Hujan merenggut soreku cahaya jinggaku dan sedikit ceritaku tentang...........

Rindu

Aku rindu padamu Tuhan

Sesal Sesak

Pertengkaran kami begitu cepat (hanya kusesali) Cinta tanpa kadar pengendalian, hanya membawa kebutaan (masih kusesali) bahwa aku sungguh-sungguh menyesal walau terlambat sudah, tak ada lagi yang tersisa Aku abu beku, berharap lagi menjadi kayu yang melindungi dan mengukir tawanya Semua telah terlambat.. .................

Separuh Nyawa

telah hilang dengan benar-benar. bahwa hari akan kutatap sendiri lagi getir terasa menyayat, diantara kata mungkin bisu ini akan membatu entah hingga bisa atau tiada separuh nyawa benar-benar telah pergi

Setahun tanpa bintang

Dibawah langit menunggu berharap awan akan tersibak tersapu lembayu namun malam kian pekat Waktu terus berlari setahun sudah terlewati dan masih, aku menunggumu disini menunggu tanpa bintang

1 detik yang panjang

dimensi waktu mencengkeram erat pada luka menganga dan aku terjebak didalamnya bukan oleh pisau tajam atau timah panas yang menerjang tapi oleh cinta, ya oleh cinta aku terkukung dalam 1 detik yang panjang

Sore di pasar Wage

Ada yang terhapus dari jejak cerita, disini ditempat tersunyi dikeramaian pasar Wage. Awan berarakan bersama nyanyian burung di sore jingga. Angin musim kemarau membawa kisah, dari harum rumput yang meranggas, dari kembang kemboja yang mulai berguguran, dari sungai yang menyisakan sejumput air musim penghujan dua bulan yang lalu, menatap suatu masa yang pasti. Bocah kecil berkeliaran di antara tumpukan sampah yang menggunung, bermain untuk sebuah tawa kebahagiaan yang hanya mereka yang tahu. Dari kejauhan suara orang mengaji menyabut magrib bersahutan terdengar menggiring matahari ke peraduannya. Sepi. Sisa-sisa daun pisang wadah orang berjualan berserakan, plastik-plastik menyebar di penjuru arah menandakan adanya aktifitas yang padat di pagi harinya. Di ujung pasar, di dekat sawah dengan tanaman kedelainya yang mulai menguning, pohon trembesi yang sudah melewati beberapa masa dan kisah kokoh berdiri, memberikan keteduhan bagi penjual dan pembeli yang berlalu-lalan

dalam bayang-bayang

aku berhenti, sunyi terperangkap, mati jiwaku melayang hanyut pada kebinasaan

pada titik

Pada titik yang tak berhenti, menerabas batas semua tersadar, bahwa hidup adalah cerita gurauan pada siang dan malam tak ada keseriusan semua hanya gurauan saja.

10-10-10

Berderap derap, mengisi dan menghilangkan Dunia ini penuh cerita, untuk sekedar diisi dengan satu dan kosong. Tapi hikayatnya, Tuhan menciptakan kita dengan 1 dan 0

Sahabat Lama

Lalu engkau terbahak-bahak, ada beban yang terlepas darimu melebur bersama malam. Aku menatapmu dalam-dalam, berjuang dengan kesusahan karena pekatnya malam menghalangi pandanganku. Sungguh waktu berjalan mendewasakan kata bukan makna. Pertemuan tak sengaja adalah kalimat ter-puitis yang dititipkan semesta kepada apapun yang melekat menyusunnya, mungkin benar begitu, setidaknya sampai sore gerimis tadi. Aku tersaruk memungut kertas-kertas yang selama ini menjadi tempat kutitipkan mimpi-mimpiku. Lalu sebuah tangan mungil, bergerak cekatan menyalip derasnya aer yang ditumpahkan awan. "Kamu?", aku terperangah sejenak. Menggali gali memori disuatu masa lampau, saaat aku masih terperangah. "Anas" Ah benar, Anas, teriaku dalam sunyi. "Masih inget ma gw Nas? Hahaha" "Dengan wajah terjelek yang pernah gw lihat? Bagaimana gw bisa lupa". "Gembel", umpatku bahagia. Dunia terasa berwarna-warni, di kala gelap malam menghapus semua wa

Ada yang hilang

Ada yang hilang, antara daun dan tanah kebisuan yang bercerita ramah Ada yang hilang, antara matahari dan bulan pijar silau yang memantul pelan Ada yang hilang, antara karang dan ombak debur yang gemuruh tak beriak Ada yang hilang, antara mendung dan hujan basah jiwa bilas kerinduan Ada yang hilang, antara burung dan ilalang kicau yang bersahutan membelah padang Ada yang hilang, antara kau dan aku rasa satu, bentang jurang tak berderak, diam membisu

Dalam diamku

Dalam diamku, aku berteriak lantang tentang cerita ketidakadilan tentang maling-maling yang berkuasa tentang teror-teror kematian Dalam diamku, aku menangis meraung tentang kemiskinan tentang penuhnya kolong jembatan tentang puisi kehilangan Dalam diamku, aku terdiam hanya ini yang aku bisa terdiam dalam diamku

Sore itu

Senja lewat tak menyapa Jingga hilang tertutup kelabu, biru Pijar lampu membangunkan malam Kota ini berderak ke peraduan berselimut dan bermimpi tentang esok yang tak kunjung datang

Layang-layang

Menerusuk awan tipis, berkelok-kelok gemulai bersama angin, layang-layang terbang gagah di cakrawala yang terbentang tak berujung. Cahaya sore menyapa hangat kegaduhan lapangan pinggir desa. Ada teriakan, tawa, canda, keriangan, kebahagiaan yang sejati. Semua berbagi kebahagiaan tak terkecuali rumput dan alang-alang. Tapi tak semua, tatapan mata itu sendu, penuh pengharapan, namun terlukis jelas roman penyesalan. Anak-anak berkejar-kejaran ketika satu layang-layang yang terpisah dari empunya gemulai melambai-lambai terbang bebas. Sang layang ceria untuk sesaat kebebasannya, berharap angin menerbangkannya hingga jauh ke surga. Masih pada tatapan sendu tua diujung, sang empu tak ada yang menghiraukannya. Sosok yang tercium semerbak tanah, hampir hampa. Lelaki tua itu meringkuk senyap dibawah tembok perbatasan menatap tajam dan lantang, ingin berteriak menggantikan lidahnya kelu tak berbunyi. “Waktu ini sejalan layang-layang, terhembus dan terbuai oleh semilir keceriaan y

surat sederhana

Bismillahirahmani rahim “ Untukmu, dihadapanku Akan terlewat beberapa masa setelah engkau membaca surat ini, tanpa sebuah alasan, hanya memang begitulah masa bertingkah. Kepada siapapun, termasuk pada diri kita, engkau dan aku. Mungkin banyak kata yang tidak bisa aku ungkapkan lagi padamu tentang awal kita bertemu, atau tentang perasaan yang muncul saat aku menatapmu untuk pertama kalinya. Masa memilikimu, dan aku berusaha merebutnya kembali, cerita itu darinya, untukmu entah untuk cerita yang mana. Akan kumulai, singkat saja. Engkau tahu malam itu? Ya, malam benderang di perjalanan. Siapa menitipkan pendar-pendar cahaya yang ranum di lubuk tempat yang terdalam, aku tak tahu. Hatiku penuh pengharapan tanpa alasan, aku meluap tanpa hujan, melayang tanpa sayap. Dimalam itu, ketika bis tua membawaku menerjang malam ke timur nun jauh disana, perasaanku jatuh dan menimpa pilihanku padamu. Selayak tinta keabadian, semua tergores sudah. Masa memangsa hitungan tanggal sem

Luka

Perjalanan berduri diantara semak perjalanan kita tersemat luka Luka yang panjang sepanjang jalan yang kita tempuh Lalu kita sembuh dengan luka yang berbekas yang menjelma menjadi mimpi suram untukku, untuk bulan dan untukmu

Semusim perjalanan

Bulan mengintip dari sebuah tempat antah berantah Tersipu di balik awan malam yang bergelayutan Sama dan mereka berbalas. Membahas masa yang telah terlewat yang pernah dititipkan pada seorang insan yang termangu, menatap sendu bulan tanpa kata, tanpa keinginan hanya diam Waktu datang mempertemukan dan memisahkan dan memang begitu seterusnya hingga terlewat semusim perjalanan

Cerita Merdeka

Langkah semilir menerusuk rindang Derap langkah berkejaran Diantara masa kita terhempas dalam belantara kebebasan Mungkin disini, diantara jejak yang kuinjak cerita itu masih membekas basah oleh perdu dan tanah merah Cerita tentang keanggunan pengorbanan kemauan kerelaan kepasrahan jiwa menggelora semangat pembebasan yang terukir manis dalam lembaran-lembaran sejarah. Perjuangan untuk kemandirian Lantas masa berulang, manis berujung pahit dan seterusnya dan begitu. Kepada masa, tentang keniscayaan cerita ini mungkin berujung mungkin abadi, entah yang mana yang akan terpilih. Ibarat makna akan kata Merdeka terjajah selalu beriring berjalan dalam keabstrakan. Entah dimana, sekarang berada. Kita terlempar pada perdu hijau yang agak basah mendengar langkah yang berderap semakin keras terdengar.

Angin dan Juli

Entah apa yang ditunggu kerinduan tak bertuan? sunyi kepiluan? sekedar kata untuk peraduan? Sengajaku tunggu Tanpa sebuah jawaban tentang angin dan Juli

Di sepanjang jalan

Di sepanjang jalan kita membisu membiarkan jalan bercerita tentang ilalang awan-awan menggunjingkan hujan angin bernyanyi lagu sendu mengejar sore yang kian ranum dicumbu pegunungan yang kekar

:)

Dalam kabut pagi aku mengenang setiap tangis dan tawa dalam jejak langkah yang terkikis masa Menjamah bayangannya adalah keajaiban Dalam kelu aku berdoa Sibakkan kabut untuknya, agar sampai ke Istana peraduan Berjumpa pangeran dalam mimpinya. Aku akan menghilang, tugasku telah usai memapaknya melewati malam.

Menulis Juni

Seharusnya sudah terang Tanpa persimpangan dengan perpisahaan Kami sore yang mengharap cerah dan bukan awan berarakan Kami pagi yang mencumbu silau dan bukan embun galau Kami hura-hura tersesat di belantara paradigma dan kepalsuan Korban nafsu laknat terjerumus tak menentu dalam kubangan Lalu kami menulis Juni Untuk kami sendiri bercerita apa saja untuk kami bersama Harusnya memang Juni bukan April atau Juli toh masih ada hujan di hari ini.

Lagu Sunyi

dalam sunyi sepi berdendang bernyanyi lagu sendu mendayu-dayu irama palsu guridam guridam guridam diam!

Pagi di Bulan Juni

Terlarut bersama hujan Kami berangkulan Mencari makna dan nama untuk sebuah peradaban yang mungkin telah hilang Bandung, satu pagi

Rinduku Setahun

Aku masih ingat dirimu Tentang pelangimu Tentang kisahmu Tentang senyummu Tentang tangismu Tentang candamu Tentang manismu Tentang manjamu .... Tentang setahun kita yang lalu.

Cerita Bintang

bintang bintang teronggok membiru berkedip tersamarkan rerumputan pelan dan pelan naik ke langit kelam mencari peraduan.. Bandung menjelang senja, 14 Mei 2010

Penjara

terpenjara dalam raga tua aku merintih memaki doa dalam kesinisan terisap sepi kepiluan bau anyir dan busuk tertawa berbarengan menginjakku dalam nisan awan-awan dalam kelam mencekam pilu yang setia teman sejati sabar berbagi tentang luka, luka dan luka saja memang aku sudah tiada entah dimana saat terjaga oleh kepiluan air mataku berdoa "Lepaskan aku dari penjara raga tua ini Tuhan" Ranjang penantian, 7 Mei 2010

Gunung, pantai, awan

Terdampar sementara dalam pencarian Di sebuah alun-alun ketenangan Tempat menghela nafas di bawah beringin yang rimbun Kutatap dalam gunung gunung berjajaran angkuh diam Taklid dalam kepatuhan Kurasakan ombak bergulung-gulung bekejaran bergemuruh, berebutan mencumbu karang Dalam keterpanaan, langit mengukir cerita tentang Ramayana dan Dewi Sinta cerita sederhana berulang bermakna tak mengenal masa Dalam sajian alam batinku bertanya lirih pada yang mendengar "Apakah aku di surga, kawan?" Pacitan, 5 Mei 2010

Berbagi Beban

Bergumul dengan lapang Berharap berbagi beban dengan awan Tentang cinta, cita, derita, duka, senang, bahagia, pedih semua Sungguh, aku tak memaksa sebisamu saja Pacitan, 5 Mei 2010

Tersesat

Kupagut perih diatas ranjang kenistaan Merintih meraung pedih dalam pelukan ketiadaan Telah membatu hatiku bergulir diantara jeram sungai darah Gelap kurasa langit hilang biru aku tersesat menghiraukan arah Aku penari lantang Dalam keramaian aku kesepian Selalu berharap lekas petang Agar aku kulepaskan jubah kepedihan Ternoda oleh cinta yang diobral murah diantara jajanan aku sembilu terhina Oleh tipu dan rayuan Telah kutorehkan tinta Cerita memalukan Membenci gila cinta Yang menipu meremukkan Aku ternoda oleh sabda pengelana Mabuk oleh candu cinta Yang keluar manis nun berbisa Aku ternoda Biar saja kudekap tubuhku sendiri Kubasuh dengan darah dan peluh Aku ingin berlari Kusegan bertahan disini, ingin lekas pergi Masuk diantara kobaran bara, lekas melepuh Ruang bisu, 3 Mei 2010

Pengelana

Kugantung doa diawan sungguh kutakada pamrih Hanya tak ingin kulupakan hingga aku pulang dan letih Aku pengelana tanpa tujuan berserak menarik langkah pelan bersenda memungut cerita tentang siapa,kamu aku kita siapa saja menyelaminya satu persatu menorehkan warna-warna pada mimpiku Kutakbutuh waktu yang menggantung rindu Penjejal pilu Kutakbutuh arah pemberat langkah Membuatku lemah Kutakbutuh bekal Menghitamkan hatiku bebal Meremukkan hasratkutak kebal Aku hanya butuh jalan Penuntunku pelan dalam puisi dan kefaanaan Persetan Tentang kehadiran Aku hanya butuh berjalan Aku pengelana tanpa tujuan Ruang bisu, 3 Mei 2010

Telaga Kenangan

Bau rumput meranggas kuhirup Kabut putih tebal kusapa Angin gunung menggigit kurasa Air bergemiricik ke persinggahan Alhamdulillah aku telah tiba Selamat datang kenangan Ngebel, 3 Mei 2010

Namaku

Namaku mentari setidak tidaknya sampai malam ini tak terenggut oleh bilar-bilar jingga di ufuk timur sana Namaku rembulan setidak tidaknya sampai awan kuat bertahan ditempatnya oleh rong rongan lembayung musim kemarau Namaku pelangi setidak tidaknya sampai mentari dan bulir hujan tak berpagutan di seberang gunung Namaku hujan setidak tidaknya sampai awan kuat menahan tangisnya Namaku angin setidak tidaknya sampai orang tak berdoa atas gerah yang dititipkan tuhan, meminta udara bergiliran berpindah tempat Namaku aer Setidak tidaknya sampai awan kehilangan kesedihannya diantara cerita perjalanannya. Namaku yatim piatu Setidak tidaknya sampai ayah ibuku hidup kembali. Namaku... ah, terlalu banyak untuk kuingat. Ruang senyap, 3 Mei 2010

Kelepon

Engkau candu para pencari rindu Taburan parutan kelapa muda yang memabukkan Melupakanku sejenak hasrat pencarianku Hijau serasi dengan balutan pembungkus daun Mengurai makna akan keteguhan dan keyakinan Gurihmu merayu lirih Mengajakku melayang-layang diulur kenikmatan Berpindah dari dahan ke daun silih berayun Manismu adalah kejutan Meresapi setiap pembuluh lidah para penikmatmu Berbungkus keindahan dan keserasian Kau benar-benar racun canduku Penghisap keperihan Rasamu perpaduan pengharapan dan kehilangan Yang bersatu dalam doa, usaha dan keprasahan Ruang senyap, 3 Mei 2010

Bocah pelukis pelangi

Bocah kecil pelukis pelangi meringkuk di balik kolong2 kardus berlindung dari tetesan aer mata awan Diam terpekur menanti kanvas langitnya agak kering menanti kuas tuanya siap menanti cat warna mataharinya datang Mempersiapkan lukisan mahakaryanya. Ah, aku iri kepada kalian yang melukis semua kebebasan dalam warna warni pelangi menafikan kekangan kefanaan. Ruang biru, 3 Mei 2010

Namaku sepi

Namaku sepi Lahir dari kolong-kolong pekat malam berpagut kesunyian Berteman ketidakpedulian Diasuh oleh ketiadaan Bergumul dengan penderitaan Mati berkarat dalam kesendirian Ya, sepi, itu yang tertulis di epitaphku Di kolong kesunyian, 3 Mei 2010

Kebisuan

Kita duduk berhadapan membisu hanya tatap sendu Aku melihatmu engkau tak sebaliknya Selang beberapa menit aku bicara Lalu berteriak Lalu berbisik Dan diam Kita hanyut lagi dalam samudera biru masing-masing Dalam kebisuan mencekam berakhir oleh dua buah gerakan berlawanan Aku beranjak berjalan Kau beranjak berlawanan Diam Aku belajar mengukir senyum menampik rasa perih yang menyayat Semua berjalanan pada arahnya membisu dalam sunyi kutitip doa entah untuk siapa. sederhana "Semoga engkau berbahagia" Ngebel, 2 Mei 2010

Teman Seperjalanan

sesampai di pemberhentian berikutnya saja temani aku menikmati tarian daun mendengar bisikan angin yang mengalun merdu diantara celah jendela meresapi setiap potong cerita tentangku tentangmu tentang mereka atau bebas, tentang siapa saja yang kita kenal atau yang asing aku akan sangat senang. Oia, terima sebotol tehku ini mungkin tak lagi manis, aku sudah mencampurnya dengan aer mata Ibu penjualnya tak apakan? Dan ini sepotong kue sisa, yang kubeli dari anak kecil berkaki pincang di depan stasiun Barat. Ini yang bisa kusuguhkan sebagai pengantar kita mengarungi samudera cerita didalam besi tua yang terus bergerak bising ini. Hmm, masih 2 jam lagi stasiun berikutnya. Cukup saja untuk kita bertukar dunia, setujukah teman seperjalanan? Ruang bisu, 3 Mei 2010

akulah :

akulah lelaki yang menggigil di ujung gang di setiap malam yang dingin menggigit membunuh kehidupan dalam sunyi kelu tanpa rintihan aku jugalah lelaki yang mematung di jembatan tua di pinggir kota memandang dalam ke sungai yang dangkal yang mulai menyusut nadir darahnya aku pula lelaki kumal bergitar tua bersenandung sumbang di depan teras-teras toko yang mulai kehilangan gairah untuk menggoda para penjaja kepuasaan akulah lelaki yang kehilangan bayangan ketika sinar matahari sedang di puncak teriknya menggeliatkan setiap sel kegerahan akulah lelaki yang berteriak lantang di tengah pasar yang menyerap setiap kata dan nada dalam irama tak beraturan menyadarkan keyakinanku akan kebisuanku akulah lelaki yang mengejar bayang menagih janji kepada bulan untuk janji yang tak pernah ia ucapkan akulah lelaki yang terlahir dari rahim emosi yang terus menuntut pamrih yang tak pernah kujanjikan akulah lelaki yang berjalan diantara siang dan malam dan masih ragu akan berhenti dimana dan malam ini a

Panggung

Ditelanjangi cahaya tak ada lagi tempat bersembunyi dari panggung hina ini Kualat, aku butuh topeng semar Catatan panggung sederhana penuh intrik kata, tipuan muka, picikan mata Cuih, berebut peran palsu terbirit birit diantara punggawa lugu Eh, diseberang depan kulihat dirimu embun diterik yang mencengkik tersenyum simpul Menelanjangiku hingga ke ubun-ubun Alamak, dimana aku lagi akan bersembunyi Panggung palsu, 21 April 2010

Selamat Datang Pagi

Tuhan telah menyapakan pagi Bukan sekedar untukku tersadar dari potongan mimpi yang mengabur Dia adalah teman yang di titipkan untuk awal sebuah cerita Dan aku lebih memilih pilihan untuk berteman dari sekedar penyapa Aku korban cerita waktu yang melulu Menunggu malam menghindar pagi Dulu, Sekarang aku lebih memilih pilihan untuk menyapa daripada menghindar "Bolehkah kubertanya sahabat baruku pagi?" Konon Tuhan punya cerita kan? Tuhan telah menuliskan ceritaku dengan tinta-tinta-Nya Di antara lembaran-lembaran kertas kehidupan Indah dan sedih tak bisa dirubah Dan aku hanya sang bidak diantara jutaan bidak laen, yang tak ada kuasa sekedar menerima. Dulu, aku bidak pemberontak Belajar mengatur yang kupunya Menolak skrip cerita Tak lelah menghina dan mencela Tentang cerita yang kuuanggap berbeda Aku terpendar, hilang diantara kelam Dengan keangkuhanku Di titik terendah Engkau (pagi) telah menyapa, diantara kesunyian Aku diam untuk beberapa kata Mungkin aku sudah kembali datang W

Hati ini..

Lugu Lucu atau dungu? Engkau tahu itu? Belajar mencerna keikhlasan, kubilang lugu Menangis ketika jiwa tertawa, atau sebaliknya kubilang lucu, tapi mungkin kau berpendapat ini dungu Hati ini memang lucu jika tak kau protes ini antara lugu dan dungu

halo

tok2 boleh aku menyapa? untuk mengucap "halo" sahaja

Sore?

Entah aku ada dimana, aku merasa tak berada disini sekarang. Sesekali kurasa aku terlempar jauh ke pelosok-pelosok balok masa kecilku, dan sesekali aku terhenti di ruang gelap di pelesiran komplek rumah, selebihnya di puluhan tempat yang aku sendiri tak sadar dengan itu. Kesadaranku berada pada batas terendahnya, aku tenggelam oleh banjir imajinasiku yang melulu kelu, mellow penuh rintihan, dengan sedikit harapan. Aku mungkin hanyut dalam arus mimpi suram yang sering kudapati ketika aku demam sewaktu kecil. Aku merasa kecil diantara gerombolan raksasa yang terus membesar, dan paling kubenci adalah, mereka tahu keberadaanku. Sem! Suaraku tercekat di longgarnya saluran udara di tenggorakan, aku tak bisa menjelaskannya. Seolah seribu tangan menutup erat mulutku, hingga menyelesik menghentikan kesadaranku. Pendengaranku tak lebih baek dari indra pengucapku. Kelu semua, tanpa penjelasan. Indraku berkhianat padaku, melupakanku dalam kejalangan kehampaan tanpa kesadaran. Aku hanya sanggup mem

Lelah

hingga pada sebuah titik aku diam membisu menunggu cerita .

Pujangga Samar

Kudengar suara gitar mengalun samar-samar di pagi yang berpendar Menggeliat mengejar camar Lirih, rintihan melodi dalam petikan senar Kumenoleh merunut lagu Di bawah langit yang kian membiru Terhanyut irama sendu Mengkristalkan serpihan rindu Yang kian terang menyibak kalbu Tak jua kutemui sang pengelana Pencerita lewat alunan nada Hanya rindu dan cinta Yang tersampaikan dalam kata Ini gila!! Kau dimana wahai pujangga? Ceritamu membunuhku nelangsa Cerita kita sama sama sekali tak beda Hanya aku ada, kau tak ada Mungkinkah kau imajinasi? Dalam cerita pagi ini Yang mengabur menghilang seiring terusirnya kabut pagi Ah, aku tak peduli Untukmu terimakasih, telah menemaniku melewati sunyi di kala pagi yang menggigit mencekam ini

Peran

Kenapa tak kau nikmati dulu sementara peranmu? Peganglah cukup lama hingga kau tersadarkan dari ada dan ketiadaan ceritamu Hingga kebatas panggung, nikmatilah kau bisa berbalik suatu saat nanti tapi tak senikmat lagi apa yang di suguhkan untukmu Berhentilah sejenak di tangga panggung biarkan semua menggila, untukmu tetap sadar walau dalam kebisuan

Percakapan Pagi

"Lalu, apa keputusanmu?" Sunyi mengambil jatah waktu diantara percakapan pagi setelah pertanyaan tadi. Detik jam di ruang tengah seolah bersuara begitu keras, meluapkan rasa ketiadaan dia di panggung-panggung waktu, walaupun dia selalu menjadi pemeran utamanya. Giliran angin sepoi-sepoi menyentuh ranting-ranting kering yang menyisakan 1-2 daun yang mulai layu menunggu "masa". Hidup seolah sebuah kegetiran, kesendirian tak berujung, dan penantian yang tak pasti. "Entahlah" Samar, hampir selembut sapaan angin pada ranting, nyaris tak terdengar. "Setiap insan adalah representasi cerita yang tak pernah sama, waktu akan berputar pada patch -nya, tapi tidak dengan cerita kita. Ada yang berubah disana, tak selamanya akan mengalir pada jalur-jalur yang kau harapkan" "Aku tahu" Kujawab dingin. Pertama kali sinar mentari menyapa, dingin menyingsing untuk beberapa saat. Pelan dan pelan. Ini musim kemarau yang hampir tak berujung, mengenalkan dingi

Terhimpit

Terhimpit disudut sunyi Tentang ada dan ketiadaan Diantara desing nyamuk yang mengejar makna hidup Berlari dalam diam Cukup tenaga kuhabiskan memakan usia Hanya sekedar menggali makna Aku benar-benar terhimpit Disudut bayang-bayang Cerita tentang keniscayaan yang gombal pembual Aku hanya ingin diam tak ingin berontak, cukup kuterhimpit, tak lagi di mangsa

Berdamai dengan pagi

Hey pagi! Kemana sekarung imanjinasi Yang kukais semalam sendiri? Kau kemanakan sunyi? Yang menemaniku dalam sepi Engkau menghapusnya? Engkau menghalaunya? Engkau menahannya? Tak cukup waktu untuk menunggu jawablah dan aku akan berdamai dan pergi

Angin bahasa kita

Angin bahasa awan yang menuturkan pesan hujan akan arti kedatangan entah dengan ramah atau marah Dia gagu, namun sangat syahdu Tak bising, hanya merdu dia perantara lagu di bawah langit biru Angin bahasa awan tentang kehidupan yang datang tak diduga dan hilang tak menyapa

Yang kau sebut pahlawan

tangan lembut tak bertuan, yang menyapa peluh hatimu dalam rindang. Malam yang meninabobokanmu dalam samudera mimpi. Yang mendoakanmu dalam sepi, kala angin merintih mundur karena dingin. Yang mendatangkan air ketika dahaga bukan pilihan. Yang membawakanmu surga ke dunia untuk kau nikmati dalam senyum. Mungkin kau merindukan arti pahlawan

Kau

Jadikanlah aku angin Jadikanlah aku aer Jadikanlah aku api Jadikanlah aku awan Jadikanlah aku malam Jadikanlah aku kawan Jadikanlah aku hujan Jadikanlah aku seseorang Yang selalu kau sematkan dalam setiap doamu

Gerimis

Gerimis ini meradang walau dengan keras kuhadang Kuteriakan penolakan atas terusirnya kesunyian

Suara Sunyi

Sunyi Kau dengar suara? mungkin berbisik, mungkin berteriak Kau dengar suara? pelan dan menggoyahkan Dengarlah itu suara sunyi yang dilantunkan hati para pemimpi

Diam

hanya ingin diam diam diam diam diam tanpa kata diam diam diam hilang

Mengalir usang di tepian tak berujung

Pada sunyi yang membunuh malam kisah bercerita untuk pasrah topeng-topeng jalang yang menelanjangi kejujuran tersembunyi di sudut-sudut sempit nan gulita Tentang kisah tragis yang mengiris iris yang terdampar pada sisi tepian tapi tak kunjung berujung Aku marah Marah untuk kisah yang membuatku tersungkur pada mimpi kelam tanpa jaga hanya berulang usang Mengalir pada jejak kakinya sendiri

Februari sunyi

Rintik hujan tak berbunyi Jangkrik mati bernyanyi Gelap mendominasi Februari sunyi

Mari Berlari

Mari berlari Mengejar waktu Meninggalkan masa Entah kemana Ikuti saja

Dengan kata

pada kata kugantung makna dan sepenuh jiwa untukmu pada kata kuukir cita dan sejumput cinta untukmu pada kata kutitipkan janji dan semua isi hati untukmu demi kata aku akan diam mencinta dalam sunyi hanya untukmu dengan kata kuurai semua rasa untukmu aku cinta

untitled (aku gila)

terpekur tersungkur terkubur pada sekat waktu yang terulang kembali sama persis teriris miris habis makna jiwa ini pada titik nadir terendah absolut aku gila

Ajari aku

Ajari aku tertawa saat menangis Ajari aku diam dalam keramaian Ajari aku untuk mencinta dalam keikhlasan Ajari aku menuliskan ini, saat tak bersisa lagi kata yang kupunya Ajari aku Tuhan