Menerusuk awan tipis, berkelok-kelok gemulai bersama angin, layang-layang terbang gagah di cakrawala yang terbentang tak berujung. Cahaya sore menyapa hangat kegaduhan lapangan pinggir desa. Ada teriakan, tawa, canda, keriangan, kebahagiaan yang sejati. Semua berbagi kebahagiaan tak terkecuali rumput dan alang-alang. Tapi tak semua, tatapan mata itu sendu, penuh pengharapan, namun terlukis jelas roman penyesalan. Anak-anak berkejar-kejaran ketika satu layang-layang yang terpisah dari empunya gemulai melambai-lambai terbang bebas. Sang layang ceria untuk sesaat kebebasannya, berharap angin menerbangkannya hingga jauh ke surga. Masih pada tatapan sendu tua diujung, sang empu tak ada yang menghiraukannya. Sosok yang tercium semerbak tanah, hampir hampa. Lelaki tua itu meringkuk senyap dibawah tembok perbatasan menatap tajam dan lantang, ingin berteriak menggantikan lidahnya kelu tak berbunyi. “Waktu ini sejalan layang-layang, terhembus dan terbuai oleh semilir keceriaan y