Posts

Showing posts from October, 2010

1 detik yang panjang

dimensi waktu mencengkeram erat pada luka menganga dan aku terjebak didalamnya bukan oleh pisau tajam atau timah panas yang menerjang tapi oleh cinta, ya oleh cinta aku terkukung dalam 1 detik yang panjang

Sore di pasar Wage

Ada yang terhapus dari jejak cerita, disini ditempat tersunyi dikeramaian pasar Wage. Awan berarakan bersama nyanyian burung di sore jingga. Angin musim kemarau membawa kisah, dari harum rumput yang meranggas, dari kembang kemboja yang mulai berguguran, dari sungai yang menyisakan sejumput air musim penghujan dua bulan yang lalu, menatap suatu masa yang pasti. Bocah kecil berkeliaran di antara tumpukan sampah yang menggunung, bermain untuk sebuah tawa kebahagiaan yang hanya mereka yang tahu. Dari kejauhan suara orang mengaji menyabut magrib bersahutan terdengar menggiring matahari ke peraduannya. Sepi. Sisa-sisa daun pisang wadah orang berjualan berserakan, plastik-plastik menyebar di penjuru arah menandakan adanya aktifitas yang padat di pagi harinya. Di ujung pasar, di dekat sawah dengan tanaman kedelainya yang mulai menguning, pohon trembesi yang sudah melewati beberapa masa dan kisah kokoh berdiri, memberikan keteduhan bagi penjual dan pembeli yang berlalu-lalan

dalam bayang-bayang

aku berhenti, sunyi terperangkap, mati jiwaku melayang hanyut pada kebinasaan

pada titik

Pada titik yang tak berhenti, menerabas batas semua tersadar, bahwa hidup adalah cerita gurauan pada siang dan malam tak ada keseriusan semua hanya gurauan saja.

10-10-10

Berderap derap, mengisi dan menghilangkan Dunia ini penuh cerita, untuk sekedar diisi dengan satu dan kosong. Tapi hikayatnya, Tuhan menciptakan kita dengan 1 dan 0

Sahabat Lama

Lalu engkau terbahak-bahak, ada beban yang terlepas darimu melebur bersama malam. Aku menatapmu dalam-dalam, berjuang dengan kesusahan karena pekatnya malam menghalangi pandanganku. Sungguh waktu berjalan mendewasakan kata bukan makna. Pertemuan tak sengaja adalah kalimat ter-puitis yang dititipkan semesta kepada apapun yang melekat menyusunnya, mungkin benar begitu, setidaknya sampai sore gerimis tadi. Aku tersaruk memungut kertas-kertas yang selama ini menjadi tempat kutitipkan mimpi-mimpiku. Lalu sebuah tangan mungil, bergerak cekatan menyalip derasnya aer yang ditumpahkan awan. "Kamu?", aku terperangah sejenak. Menggali gali memori disuatu masa lampau, saaat aku masih terperangah. "Anas" Ah benar, Anas, teriaku dalam sunyi. "Masih inget ma gw Nas? Hahaha" "Dengan wajah terjelek yang pernah gw lihat? Bagaimana gw bisa lupa". "Gembel", umpatku bahagia. Dunia terasa berwarna-warni, di kala gelap malam menghapus semua wa

Ada yang hilang

Ada yang hilang, antara daun dan tanah kebisuan yang bercerita ramah Ada yang hilang, antara matahari dan bulan pijar silau yang memantul pelan Ada yang hilang, antara karang dan ombak debur yang gemuruh tak beriak Ada yang hilang, antara mendung dan hujan basah jiwa bilas kerinduan Ada yang hilang, antara burung dan ilalang kicau yang bersahutan membelah padang Ada yang hilang, antara kau dan aku rasa satu, bentang jurang tak berderak, diam membisu

Dalam diamku

Dalam diamku, aku berteriak lantang tentang cerita ketidakadilan tentang maling-maling yang berkuasa tentang teror-teror kematian Dalam diamku, aku menangis meraung tentang kemiskinan tentang penuhnya kolong jembatan tentang puisi kehilangan Dalam diamku, aku terdiam hanya ini yang aku bisa terdiam dalam diamku

Sore itu

Senja lewat tak menyapa Jingga hilang tertutup kelabu, biru Pijar lampu membangunkan malam Kota ini berderak ke peraduan berselimut dan bermimpi tentang esok yang tak kunjung datang

Layang-layang

Menerusuk awan tipis, berkelok-kelok gemulai bersama angin, layang-layang terbang gagah di cakrawala yang terbentang tak berujung. Cahaya sore menyapa hangat kegaduhan lapangan pinggir desa. Ada teriakan, tawa, canda, keriangan, kebahagiaan yang sejati. Semua berbagi kebahagiaan tak terkecuali rumput dan alang-alang. Tapi tak semua, tatapan mata itu sendu, penuh pengharapan, namun terlukis jelas roman penyesalan. Anak-anak berkejar-kejaran ketika satu layang-layang yang terpisah dari empunya gemulai melambai-lambai terbang bebas. Sang layang ceria untuk sesaat kebebasannya, berharap angin menerbangkannya hingga jauh ke surga. Masih pada tatapan sendu tua diujung, sang empu tak ada yang menghiraukannya. Sosok yang tercium semerbak tanah, hampir hampa. Lelaki tua itu meringkuk senyap dibawah tembok perbatasan menatap tajam dan lantang, ingin berteriak menggantikan lidahnya kelu tak berbunyi. “Waktu ini sejalan layang-layang, terhembus dan terbuai oleh semilir keceriaan y