surat sederhana

Bismillahirahmani rahim

Untukmu, dihadapanku

Akan terlewat beberapa masa setelah engkau membaca surat ini, tanpa sebuah alasan, hanya memang begitulah masa bertingkah. Kepada siapapun, termasuk pada diri kita, engkau dan aku.
Mungkin banyak kata yang tidak bisa aku ungkapkan lagi padamu tentang awal kita bertemu, atau tentang perasaan yang muncul saat aku menatapmu untuk pertama kalinya. Masa memilikimu, dan aku berusaha merebutnya kembali, cerita itu darinya, untukmu entah untuk cerita yang mana.

Akan kumulai, singkat saja.

Engkau tahu malam itu? Ya, malam benderang di perjalanan. Siapa menitipkan pendar-pendar cahaya yang ranum di lubuk tempat yang terdalam, aku tak tahu. Hatiku penuh pengharapan tanpa alasan, aku meluap tanpa hujan, melayang tanpa sayap. Dimalam itu, ketika bis tua membawaku menerjang malam ke timur nun jauh disana, perasaanku jatuh dan menimpa pilihanku padamu.
Selayak tinta keabadian, semua tergores sudah. Masa memangsa hitungan tanggal semu manusia, detik demi detik dalam kepastian. Kita telah memerankan peran pada panggung yang terlalu luas untuk kita huni berdua. Kita berdesak-desakan, pada masa lalumu, pada masa laluku, pada masamu sekarang, pada masaku sekarang, pada masa nantimu dan pada masa nantiku. Pasti walau selalu misteri.

Engkau tahu senyummu? Aku pernah melukiskannya pada sore ditapal batas, yang jingga ranum penuh keindahaan tak terlukiskan. Aku bisa memandanginya untuk hidup, walau itu tak akan mungkin. Entahlah, aku memujimu dengan kejujuran, yang bisa kutuliskan pada awan-awan ketika berarak ke peraduan.

Engkau tahu tangismu? Aku pernah membayangkan dunia ini tertutup mendung keabadian, tak ada celah untuk cahaya menyapa. Tangismu mengiris hingga ke bagian terdalam yang tak tampak. Gelap dan sunyi, tangismu membunuh ceria bahkan untuk sekulum senyum kecut. Lalu egoku membutakanku pada kejahiliyahan, pada masa suram ketika aku ingin ini itu, dan ketika itu bukan aku. Mungkin aku, tapi sungguh bukan aku.

Lalu sampai dimana kita? Disini, di barat dekat ini? Aku tak punya jawaban yang bisa kutitipan pada huruf, kata, kalimat pada selembar surat sederhana ini. Masa yang kita lalui adalah kepastian untuk kita petik buah nan ranumnya, walau pilihan yang disediakan tak selalu manis dan menyegarkan.
Kata ini tak berbatas, tapi jiwaku lemah lunglai. Bukan karena tak ada daya, Tuhan menciptakan semua tampak beda disetiap pandang mata yang menatap. Sungguh tak ada yang rumit, hanya keegoisan untuk memilih, mana yang seharusnya kita pilih.

Masa sudah terlewat, semenjak kuucapkan salam diawal. Namun tujuan tak kunjung datang, pada kata yang seharusnya sederhana. Aku hanya ingin berkata jujur, yang kelu kuucapkan.

Aku jatuh cinta padamu dan aku sadar masih menjaganya, disini, di selembar surat sederhana ini.

Kau tahu sekarang? Aku masih mencintaimu. Namun sungguh, aku tak tahu peran apa yang sekarang harus kita mainkan di panggung Tuhan ini.”
aer/sore/layang-layang/jingga
25 oktober 2010

Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama