Pada suatu titik kejenuhan terlalu nyata untuk dipungkiri kesunyian terlalu menyekat di tengah keramaian Pada suatu titik pertanyaan terlalu meluap-luap, tak sempat sekalipun berpikir untuk menjawab terlalu lelah bergerak, bahkan untuk tenaga yang sedang berlebih Pada suatu titik terlalu banyak persimpangan yang membingungkan terlalu bising tentang apa yang harus dikejar dan dimiliki Pada suatu titik kerinduan pada lorong masa lampau terlalu banyak membayangi penyesalan-penyesalan terlalu menumpuk tak dapat diurai Pada suatu titik gegap hanya ingin berdiri sebagai raja diri, seorang diri tanpa koma. Hanya titik
Angin malam berhembus lembut, namun mampu menembus dinding-dinding gedeg* cakruk** yang mulai rapuh di dukuh kecil yang terletak di bawah bukit Gajahan. Sementara diatas sana rembulan purnama bersinar cerah dengan sesekali disapa oleh awan yang bergerak cepat, terburu-buru menuju suatu tempat di ujung utara. Empat sosok gelap tertutup oleh atap cakruk yang tak bisa ditembus oleh sinar bulan saling menggeser mencoba mencari tempat yang nyaman untuk mengarungi malam yang semakin larut. Perbincangan yang mereka awali sedari ba'da Isya masih terus berlanjut hingga saat ini. "Jadi mau gimana kang?" "Kompeni semakin susah ditebak" jawab sesosok lelaki yang dipanggil dengan sebutan Kakang oleh temannya. Suaranya serak, seperti menahan sesak didadanya. "Kita punya waktu 2 hari lagi, sebelum mereka datang" seseorang bertubuh paling tambun yang duduk di ujung ikut bersuara. "Benar, aku masih tidak bisa memutuskan harus bagaimana. Ada 20 orang di d
pijarku meleleh, terserap gulita aku mengutuk waktu lalu mengutuk ilalang untuk senyumku untuk senyumku, yang terukir rias di tembok depan hancurnya gerabah rapuh Ya, aku ingin ke bintang sendirian melihatmu berbahagia selamanya dari masa 1000 tahun yang akan datang
Comments
Post a Comment