Lelaki lusuh, disudut ranjang yang pernah mereka tempati untuk duduk berdua, saling bercakap, saling bercerita, saling menghibur, bahkan terkadang saling menyakiti walaupun akhirnya (pernah) saling berbaikan lagi, memandang nanar jauh keluar. Ke jendela tanpa tirai yang menyerbak warna abu langit pagi hari. Ya, di suatu pagi. Pagi di hari sabtu, 6 Oktober 2012.

Mata sebam, garis matanya tampak jelas ingin bercerita satu malam sebelumnya dia tidak tidur. Beban yang teramat berat masih dipikulnya, tampak jelas dari rona matanya.

Dunianya berhenti, sedangkan dunia yang lain sedang berlari riang meninggalkannya.
Jiwa-jiwanya merangsek mundur, melihat dengan jelas setiap detail kenangan yang pernah dia dan ... jalani bersama.

Penyesalan yang berubah menjadi beban berat menggunung di ruangan yang berantakan itu. Kertas-kertas, buku, baju yang berserakan tidak karuan mewakili semua yang tidak bisa ia katakan.

dan...
Aku tak ingin menjadi aku lagi disini. Biarlah kehancuran menjadi milik lelaki lusuh itu, dan biarlah aku menjadi teman-teman bisunya. Temannya untuk menyesali setiap kata yang pernah ia ucapkan. Teman yang ikut mendoakan kebahagian yang menghancurkan lelaki itu hingga seperti ini, di pagi ini.

Aku tak pernah ingin lelaki itu adalah aku, walau aku tak pernah bisa menolak ketika waktu telah menghakimiku.

Biarlah aku yang menutup lembaran ini, karena aku dan dia tahu, lelaki lusuh itu tak akan pernah bisa melakukannya, bahkan sampai nyawanya terenggang ke ujung sana.




Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama