Layang-layang

Menerusuk awan tipis, berkelok-kelok gemulai bersama angin, layang-layang terbang gagah di cakrawala yang terbentang tak berujung. Cahaya sore menyapa hangat kegaduhan lapangan pinggir desa. Ada teriakan, tawa, canda, keriangan, kebahagiaan yang sejati. Semua berbagi kebahagiaan tak terkecuali rumput dan alang-alang. Tapi tak semua, tatapan mata itu sendu, penuh pengharapan, namun terlukis jelas roman penyesalan.

Anak-anak berkejar-kejaran ketika satu layang-layang yang terpisah dari empunya gemulai melambai-lambai terbang bebas. Sang layang ceria untuk sesaat kebebasannya, berharap angin menerbangkannya hingga jauh ke surga. Masih pada tatapan sendu tua diujung, sang empu tak ada yang menghiraukannya. Sosok yang tercium semerbak tanah, hampir hampa. Lelaki tua itu meringkuk senyap dibawah tembok perbatasan menatap tajam dan lantang, ingin berteriak menggantikan lidahnya kelu tak berbunyi.

“Waktu ini sejalan layang-layang, terhembus dan terbuai oleh semilir keceriaan yang ditiupkan angin-angin kepada sang masa. Mengalir cepat dan cekat saat kita terbuai, ketika halang menerjang kami gagap dan panik”.

Kamilah penyesalan, pada rumput-rumput yang bertahan pada kejamnya alam, pada layang-layang yang pongah terbuai, pada kisah-kisah yang mengharu biru, pada cinta yang tak pernah terdefinisi, pada hampa yang abadi.

“Seharusnya bukan kami, tapi aku”.

Matanya masih melekat erat pada kisah yang entah berantah dimana berpijak. Mencari pijakan untuk menerima kesadaran, terasa sakit dan pedih.

Tersadar pada alam, layang-layang lah yang datang menghampirinya tanpa permisi. Lalu jiwanya yang terdalam membimbingnya dan memungutnya berbarengan dengan teriakan dan cemoohan beberapa anak kecil pengejar layang-layang nan polos.

“Yah, diambil orang gila”.

Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama