Sahabat Lama

Lalu engkau terbahak-bahak, ada beban yang terlepas darimu melebur bersama malam. Aku menatapmu dalam-dalam, berjuang dengan kesusahan karena pekatnya malam menghalangi pandanganku. Sungguh waktu berjalan mendewasakan kata bukan makna.

Pertemuan tak sengaja adalah kalimat ter-puitis yang dititipkan semesta kepada apapun yang melekat menyusunnya, mungkin benar begitu, setidaknya sampai sore gerimis tadi. Aku tersaruk memungut kertas-kertas yang selama ini menjadi tempat kutitipkan mimpi-mimpiku. Lalu sebuah tangan mungil, bergerak cekatan menyalip derasnya aer yang ditumpahkan awan.

"Kamu?", aku terperangah sejenak.

Menggali gali memori disuatu masa lampau, saaat aku masih terperangah.

"Anas"

Ah benar, Anas, teriaku dalam sunyi.

"Masih inget ma gw Nas? Hahaha"

"Dengan wajah terjelek yang pernah gw lihat? Bagaimana gw bisa lupa".

"Gembel", umpatku bahagia. Dunia terasa berwarna-warni, di kala gelap malam menghapus semua warna yang tersisa. Sebuah pertemuan tak disengaja.

Lalu percakapan kami mengalir seiring aer yang menyerusuk berebut mencari peraduan, diantara selokan-selokan mampat. Berbicara tentang masa perpisahan kami di kelulusan SMA, tentang masa-masa perjuangan di bangku kuliah, berlanjut tentang kerjaan, keluarga dan seterusnya-seterusnya.

Persahabatan kami sederhana, seperti persahabatan-persahabatan yang lain. Rumah kami sejalur bis, rumahnya lebih jauh, kami menghabiskan waktu pulang berjalan kaki ke terminal bis bersama sewaktu SMP beserta teman-teman yang lain dan kami hampir selalu pulang bersama satu bis setiap hari sepulang sekolah.

Aku dan dia dekat hanya karena kami sering bercanda, tentang apapun. Tentang hal-hal sepele, dia tertawa, tentang hal-hal yang rumit, dia tertawa, tentang hal-hal yang serius ataupun basi, dia tetap tertawa. Hidupnya adalah tertawa, begitulah satu-satunya kata yang bisa kuucapkan untuk menggambarkannya.

6 tahun satu sekolah, tapi tak pernah sekalipun sekelas tak membuat aku tak bisa dekat dengannya. Mungkin dia satu-satunya orang yang selalu dan bisa menghargai semua omonganku dengan tawanya yang tulus. Tawa yang coba kubaca malam ini, di gerobak angkringan kota tua ini.

"Dunia ini kaku ya Nas?"

"Maksud lw?"

"Iya, kaku dunia ini. Dia tetap saja keukeuh menitipkan tawa geledak lw sampai sekarang", giliranku terbahak-bahak, dan dia diam.

"Tumben gak ketawa?"

Senyap, dia mengalihkan pandangan. Dalam temaram lampu malam, kulihat dia menatap jauh menerobos gelap, entah mengadu sampai dimana pandanganya.

"Tuhan merenggutnya Gas".

"Maksud lw?"

"Tawa gw tadi itu tawa pertama gw setelah bertahun-tahun".

Deg, aku meragu dan bingung.

"Kenapa Nas?"

"Gw bukan Anas lagi Gas, mungkin seharusnya begitu. Ada sisi yang gw tutupi tadi, tentang diri gw".

"Tambah ngelantur lw ah"

"Anas dulu sempat kembali tadi, diawal kita bertemu, sekarang dia hilang lagi".

"Aseli gw gak ngerti Nas".

Anas diam untuk beberapa saat, menarik nafas sangat dalam, seolah itulah sisa terakhir udara di dunia ini.

"Iya, ini bukan gw Anas yang dulu, ini Anas yang lain. Anas yang hanya tersisa sisi malamnya".

Lalu dia terdiam, beberapa saat yang lama. Akupun sama, tak mengerti harus bagaimana.

Tiba-tiba dia berdiri beranjak, mendekati penjual angkringan, membayar beberapa uang.

Tanpa berbalik, dia melangkah meninggalkan diriku di angkringan pada arah yang berlawanan.

"Makasih Gas, gw yang traktir malam ini".

Hatiku tercekat, ada kekuatan yang membuatku kelu tak bisa beranjak.

-------------------------------------------------0000-----------------------------------------

Tubuhku remuk, oleh mimpi-mimpi buruk yang membuatku terjaga dalam tidur. Ah, Sialan.
Setelah kusiapkan secangkir hangat, seperti biasa kutengok pintu depan mencari koran pagi. Kubuka-buka mencari sandiwara terbaik hari-hari kemarin untuk menatap hari ini.

Kulewati beberapa halaman yang menjemukan, selalu begitu dan berulang. Hingga mataku terhenti disebuah berita yang membuat denyut nadiku berdetak lebih cepat seribu kali dari keadaan normal.

"Seorang paruh baya meninggal didepan Ruko Photocopy, dengan wajah tersenyum.".

Kubaca semua, mencari dan mencari sesuatu yang membuatku kelimpungan pagi itu. Hingga kutemukan apa yang kucari, hatiku berhenti berdetak seketika. Anas Ruhmadiyat, begitu nama orang yang meninggal semalam itu. Deg.

Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama