Sore di pasar Wage

Ada yang terhapus dari jejak cerita, disini ditempat tersunyi dikeramaian pasar Wage.

Awan berarakan bersama nyanyian burung di sore jingga.

Angin musim kemarau membawa kisah, dari harum rumput yang meranggas, dari kembang kemboja yang mulai berguguran, dari sungai yang menyisakan sejumput air musim penghujan dua bulan yang lalu, menatap suatu masa yang pasti.

Bocah kecil berkeliaran di antara tumpukan sampah yang menggunung, bermain untuk sebuah tawa kebahagiaan yang hanya mereka yang tahu.

Dari kejauhan suara orang mengaji menyabut magrib bersahutan terdengar menggiring matahari ke peraduannya.

Sepi.

Sisa-sisa daun pisang wadah orang berjualan berserakan, plastik-plastik menyebar di penjuru arah menandakan adanya aktifitas yang padat di pagi harinya.
Di ujung pasar, di dekat sawah dengan tanaman kedelainya yang mulai menguning, pohon trembesi yang sudah melewati beberapa masa dan kisah kokoh berdiri, memberikan keteduhan bagi penjual dan pembeli yang berlalu-lalang.

Tatapanku terpaku disatu sosok di ujung sana, di emperan warung kopi tempat para penjudi mangkal. Wajahnya sayu, tatapannya kosong menatap ujung barat yang mulai menjingga gelap. Badannya kering ceking, hanya menyisakan kulit dan tulang. Rambutnya menguban, terurai tak terawat.

“Sudah berapa tahun?”, dia bertanya, ketika aku mendekat.

“Harusnya, aku disana bersama burung kuntul yang mengejar matahari untuk malam”

“Aku benci di persimpangan”

“Aku takut pada siang, tapi enggan bertemu malam. Sedang sore tak pernah memberi ketenangan walau hanya sesaat”

“Aku benci di sini, di tempat aku tak pernah bisa bersembunyi dari takdir, darimu”.

Lengang.

“Mungkin aku tak seharusnya datang”, aku menjawab sekenanya, berusaha menahannya tapi urung bisa, ibarat tanggul yang tak kuat lagi menahan banjir bandang.

“Hehehe..seharusnya aku tak ada, karena itu kau tak perlu datang.”

Dia beringsut, mengejar senyum yang sebentar dia lepaskan.


jetis, pasar wage. 27 oktober 2010

Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama