Namaku Ono

Aku ada, itulah hakekat nama yang kusandang Ono, yang dalam bahasa Indonesia berarti ada. Walaupun akhirnya kusadari, hanya namaku saja yang mewakili keberadaanku, diriku sendiri? Hilang, tak dikenal, tak ada sesiapapun yang merasakan kehadiranku, bahkan sanak saudaraku.

Aku lahir ditempat yang salah atau entahlah, mungkin jika Tuhan sebelumnya memberiku pilihan aku akan memilih tempat lain yang lebih teduh untukku berlindung, lebih riang untukku tertawa, lebih berwarna untukku melukis. Tapi aku tak punya pilihan, Tuhan memberiku titah dan aku patuh sepatuh-patuhnya.

Kakakku 2 dan adikku 2, aku anak tengah. Kata orang, anak tengah adalah anak buangan, anak yang tak diharapkan kehadirannya. Aku tak sempat merasakan kasih sayang yang diberikan kedua orang tuaku sebagaimana kedua kakakku dapatkan. Tak jua aku mendapatkan perhatian seperti yang kedua adikku dapatkan. Aku sendiri dan kesepian.

Apalagi ditambah didikan bapakku yang luar biasa keras, sedikit salah hukumannya tampar, pukul, caci maki. Pernah suatu hari aku dimaki-maki dan dipecut dengan pecutan sapi yang besar karena keteledoran yang sepele. Aku berontak dan lari, tapi bapakku terus mengejar hingga disepanjang jalan menjadi tontonan orang. Aku tak pernah merasa punya bapak. Dia orang asing yang berlagak sebagai orang tuaku untuk menghajarku.

Walaupun keluarga kami miskin, segala materi yang kubutuhkan sebenarnya terpenuhi. Aku tidak pernah kelaparan karena dapur kami yang luas tidak pernah berhenti mengepul, tak juga sandang yang selalu aku punya, walaupun warisan kakakku yang kedua yang juga seorang laki-laki. Aku berkecukupan.

Ketika kecil aku sama sekali tak sempat bertanya tentang eksistensiku, karena aku memang ada ketika teman-temanku berkumpul. Mereka merasakan eksistensiku walaupun hanya sebagai pelengkap. Ya aku pelengkap, dan tak lebih. Mereka bilang aku gotal alias goblok total. Bisa dibayangkan betapa bodohnya aku, untuk mencapai kelas 5 aku harus menempuh masa sekolah dasarku  selama 11 tahun. Bahkan sampai sekarang aku tak bisa membaca dan menulis. Aku tak kuat ketika harus bersanding dengan adikku yang paling kecil, dimana bentang usia kami lebih dari 7 tahun. Akhirnya aku keluar dari sekolah.


Ya, aku tak kuat. Dunia ini menjerumuskanku ke lembah hitam dengan satu-satunya pilihan menghilangkan eksistensiku didunia. Lalu kemana diriku lari? Dirumah aku mereka tak mengenaliku, apalagi diluar. Aku takut, sangat takut.

Sepanjang beberapa tahun berikutnya aku mencoba mencari jati diriku di kebun milik keluarga yang mengangkat mamakku sebagai anak angkat. Disana aku berbicara kepada yang bisa kutemui, rumput, pohon, serumpun bambu, sungai kecil, sawah, semuanya.


Tiap hari, tiap waktu dan tiap pagi aku kesana, berusaha bertanya dan bersembunyi, tak hanya dari manusia tapi juga dari kenyataan, pun dari Tuhan aku berusaha bersembunyi.

Setiap detik aku takut, entah takut pada apa dan siapa. Aku hanya takut dan takut, aku tak pernah bersua dengan pagi, bagiku waktu itu tak ada, waktu hanya khayalan mereka untuk menghitung cerita sedangkan untukku? Tak ada, karena yang kujumpa adalah malam dan malam yang terus berkepanjangan. Tak ada cerita.


Terlambat untuk tersadar, ragaku tak lagi kecil dan mungil yang bisa dimaklumi lagi. Beberapa orang pernah kucuri dengar, mereka bilang aku rupawan. Tinggi, kuning langsat, rambut lurus, hidung mancung, senyum manis. Tapi untuk apa? mereka takut dan menganggapku benar-benar tak ada.

Mereka takut denganku begitu juga aku, aku tak pernah bisa mempercayai mereka. Mereka orang asing, mereka alien, dari dunia lain yang bukan duniaku.

Aku pernah jatuh cinta bahkan sering, tapi untuk apa? mereka semua takut denganku. Tuhan meletakkan mereka di ujung-ujung bintang yang mustahil aku gapai. Dan aku cacing yang menggeliat kesakitan untuk bisa keluar dari tanah kering yang menyiksa ini.

Keluargaku berantakan, mereka para tetangga bilang begitu. Kakakku yang pertama perempuan, cantik. Banyak orang bilang begitu, tubuhnya bagus, wajahnya manis. Banyak orang yang ingin memilikinya. Dia menikah dengan seorang wirausahawan yang merantau ke pulau sebelah. Tak lama, setelah beranak kecil mereka bercerai, karena ternyata suaminya adalah seorang bajingan, hanya main, mabuk, judi dan begitu seterusnya. Kakakku tak tahan dan pulang ke rumah, dan namun dia menjadi liar dan semakin liar. Semua orang mengenalnya sebagai wanita panggilan. Keluargaku semakin tersudut di pojokan dalam pergaulan dengan tetangga.

Adikku yang pertama juga, dia sama gilanya denganku mungkin, sama-sama takut menghadapi dunia. Sama-sama takut karena kehilangan eksistensi dimanapun bahkan dikeluarga. Dia satu-satunya kerabat yang bisa jadi sahabatku, tapi dia tak terkejar. Ketika sampai saat ini aku tak bisa mengenali huruf, dia jauh lebih pandai, sayang orang tua kami tidak terlalu perhatian dengan kebutuhan kami. Dia putus sekolah dan memutuskan untuk mengembara keluar pulau, ke sanak saudara kami disana.

Adikku yang terkecil juga sama, dia perempuan dan sangat-sangat manis. Tapi lagi-lagi buat apa? Tetangga mengenali kami sebagai keluarga yang berantakan, keluarga rusak. Tak terhitung berapa kali mamakku bermusuhan bahkan beradu mulut dengan tetangga karena ingin mempertahankan harga diri kami yang sebenarnya tak ada. Adikku yang terkecil memang genit dan sangat genit. Aku pernah mencoba memperingatinya, tapi untuk apa? Dia tak juga tak pernah menghargai keberadaanku.

Mungkin kakakku yang kedua yang normal, dia pandai, terampil, tampan dan lulusan STM. Walaupun keluarga kami hancur lebur, dia masih bisa diharapkan, dia berbeda dengan kebanyakan anggota keluarga kami. Mungkin karena masa kecilnya banyak dihabiskan dengan Mbah Nem, sebelum akhirnya beliau meninggal ketika kakakku kelas 3 SMP, usia yang cukup dewasa untuk bertindak. Banyak perempuan yang mengharapkan dia menjadi suaminya. Dan kakakku tersebut sangat beruntung, seorang janda pengusaha yang tinggal di Denpasar mau menjadikan dia sebagai suami dan orang yang mengatur semua bisnisnya. Mereka menikah, berpindah ke Denpasar dan hilang sudah kebanggaan satu-satunya keluarga kami.

Terbersit hatiku untuk merantau juga, tapi aku takut, sungguh aku takut dengan dunia luar yang kata banyak orang kejam. Tak seperti kebun belakang yang selama ini ramah terhadap kehadiranku.

Hingga suatu waktu aku memutuskan pergi, ke pulau seberang. Bukan karena apa, aku tak kuat dengan kehidupanku di rumah, dan teman-temanku dikebun belakang hanya diam membisu. Aku ingin lebih.

------------------------------------------------------------oOo--------------------------------------

Awalnya aku takut, karena mereka memandangku dengan takut. Kami sama-sama takut. Di tempat baru, lingkungan baru. Pamanku ini bersedia menampungku dan mempekerjakanku untuk urusan pekerjaan yang kasar-kasar. Mereka tahu aku tak mengenal angka dan huruf. Hanya tenagaku yang mereka hargai.

Hidup dilingkungan perkebunan sawit sangat keras, orang-orangnya jauh lebih keras. Awalnya mereka menghargaiku tapi tak lama, sama seperti dimanapun aku berada. Ketika mereka menyadari kehadiranku mereka akan segera mengucilkanku. Untuk apa aku ada? Aku hanya seorang yang bodoh dan tak tahu apa-apa, mungkin begitu pikir mereka.

Mereka lebih kejam, sering memperolokku, menghinaku, dan mengerjaiku. Aku tak bisa lari, aku tak bisa sembunyi, aku tak bisa menangis. Aku rindu kebun belakangku.

Waktu terus berjalan, dan ini kian menyakitkan. Hingga suatu waktu terbersit dalam benakku. Mereka menganggapku gila, dan kenapa aku tak menjadi gila yang sebenarnya saja? Bodohnya aku.

Suatu siang, ada kesempatan yang tepat. Mereka memperolokku seperti biasa, dan aku berteriak kesetanan. Bukan aku berpura-pura, aku sungguh-sungguh mendidih marah, kuraih sabit besar yang biasa dipakai untuk memotong dahan atau ranting dan kuayunkan ke mereka, mereka kalang kabut dan aku mengejar secara membabi buta.

Dengan berteriak, aku terus mengejar mereka. Aku tak peduli siapa yang aku kejar, kukeluarkan semua kata-kata yang selama ini aku pendam. Puas. Aku gila dan aku senang.

Tak berapa lama, semakin banyak penduduk yang berdatangan, sementara aku semakin liar. Aku senang, karena akhirnya aku ada, mereka memperhatikanku, mereka merasakan kehadiranku tak peduli dengan cara seperti ini. Ada yang menatapku takut, ada yang menatapku bingung, ada yang marah, ada yang berusaha menenangkanku.

Beberapa pemuda yang kukenal wajahnya mengelilingiku, tenagaku tak sekuat tadi. Aku mulai melemah dan tetap sesekali mengibaskan sabitku, serta tersenyum sinis, senang, puas, kejam semuanya. Senyumku mewakili semua perasaanku saat itu. Aku tak ingin semua berlalu.

Ada beberapa polisi datang dan meneriakku untuk menurunkan sabit, tak kugubris. Aku terus nyerocos bicara tak karuan, kadang tersenyum, kadang dengan tawa yang liar, kadang dengan mimik muka yang memelas, selalu berganti-ganti, sesuai dengan keinginanku. Akulah sang aktor di panggungku, ya aku pemenang setelah sekian lama menjadi pecundang.

Tapi tak berapa lama, sebuah dorongan keras dari belakang membuatku tersungkur ke rerumputan di kebun sawit itu. Tanganku tak kuasa bergerak, dan terlepaslah sabit yang selama ini kujadikan satu-satunya alat untuk memerankan peranku.

Mereka mengikatku dengan tali, membawaku ke rumah pamanku. Sepanjang jalan aku tertawa dan berteriak lantang, aku senang, aku pemenang.

Pamanku dan segenap keluarganya tertunduk, aku tahu mereka lebih malu punya anggota keluarga seperti diriku daripada kasihan melihat keadaanku. Ah, persetan karena sesungguhnya aku memang sendiri sedari dulu. Aku tak ada.

Semalaman itu banyak yang berjaga dirumah pamanku, rumah pamanku menjadi ramai. Aku telah memulai pesta yang selama ini tak pernah ada. Dari kamar yang dikunci dan tanpa satupun peralatan kecuali kasur yang sudah kotor dan keras aku mendengar beberapa orang yang mempergunjingkanku. Aku tertawa dalam hati, kalianlah pecundang yang sesungguhnya.

Kakiku digembok, tanganku dibiarkan terbuka. Makanan yang sederhana seperti biasa di letakkan dilantai. Kubiarkan saja, karena aku tak bernafsu untuk makan, mungkin hanya haus.

Dari sayup-sayup pembicaraan diluar, mereka berusaha mengabari keluargaku untuk datang menjemput, karena aku tidak mungkin lagi berada disini. Ah, malam ini berjalanlah lambat aku masih ingin menikmati kemenanganku.

Hari menunggu kedatangan orang tuaku sangat membunuhku, perasaan puasku hilang terkikis oleh rantai yang membelenggu erat kakiku. Penghibur dan pembunuh kebosananku adalah diriku sendiri, aku berteriak, bernyanyi, tertawa, menangis. Aku ingin membunuh sepi, membunuh waktu yang berjalan sangat pelan.

Akhirnya hari yang dinanti itu tiba, kedua orang tuaku dan beberapa sanak keluargaku datang menjemputku. Entah aku harus senang atau tidak, tapi setidak tidaknya aku bisa keluar dari neraka kebosanan yang mengikis kesadaraanku. Sebenarnya aku sudah benar-benar gila atau masih memerankan peran ini.

Terakhir kulihat keluarga pamanku tidak ada satupun yang memandangku, mereka membuang muka jauh-jauh. Mereka lega, aku juga. Ingin sekali rasanya aku mengucapkan sepatah dua patah kata, oleh mereka aku bisa merasakan kehadiranku, aku merasakan kemenangan untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Sepanjang jalan aku diam,orang tuaku juga diam. Tak banyak yang kuceritakan, karena aku begitu menikmati perjalanan yang panjang ini. Aku hidup.

Harusnya aku pulang ke rumah, tapi ternyata tidak. Bis yang kutumpangi ternyata berhenti di Solo. Ah bodohnya aku, kebutaanku terhadap huruf dan angka membuatku tak sadar, aku tidak pulang melainkan menuju suatu tempat yang sangat terkenal disini. Rumah Sakit Jiwa Solo. Ya, sewaktu kecil, mereka sering mengolok-olokku sebagai penghuni dan lulusan RSJ ini dan sekarang disinilah aku. Di tempat yang mereka anggap layak untukku. Tuhan sungguh adil, doa mereka terkabul.

Disini semua gila, lalu buat apa aku berpura-pura? Toh semua orang disini gila, kecuali Dokter, perawat dan pembantu-pembantunya. Aku mulai takut. Takut berada di tempat seasing ini, aku ingin melepas topeng.

Mulanya aku mengatakan kepada orang tuaku, dokter dan semuanya. Aku tidak gila, aku tidak gila. Tapi semakin keras aku berteriak mereka semakin yakin aku gila.

Aku menangis, meraung berharap mereka iba dan sadar bahwa aku berpura-pura gila. Percuma, karena mereka tetap menganggapku gila dan bahkan semakin parah. Aku sudah tiada. Dunia baru, kehidupan baru dan aku benar-benar takut.

Hari pertama kujalani dengan diam dan diam saja. Tak ada yang menarik dari Rumah Sakit, yang lebih tepatnya kusebut penjara baru. Terlalu banyak pagar dan terali.

Hingga disiang hari, hatiku berdetak. Mataku menatap sesosok yang menggetarkan naluri lelakiku. Dia masih sangat muda jika dibandingkan dengan perawat-perawat yang lain. Cantik dan manis, dan..baik. Kuperhatikan setiap gerak geriknya merawat para pasien, begitu sabar dan perhatian.

Hari-hariku kian berwarna disetiap waktunya. Aku pernah mengenal hari dan itu sudah aku lupakan sejak aku keluar dari sekolah. Selanjutnya waktu itu awang-awang, yang mereka pesta porakan tapi tak pernah berpengaruh pada diriku.

Aku mulai mengenal lagi senin, selasa, rabu, kamis, jumat, minggu bukan dari kalender. Tetapi dari perawat cantik itu bertugas, aku hafal segala kegiatannya. Jika malam tiba, aku berharap matahari berlari ke ufuk timur dan memberiku kesempatan untukku melihat dari kejauhan bidadari yang mengisi seluruh ruang mimpiku.

Setiap hari ada perawat yang datang ke kamarku, memeriksa ini itu. Perawat ini sudah tua, tapi sangat perhatian. Dia baik, mengajakku mengobrol, menceritakan ini itu. Awalnya aku hanya diam, tapi aku menemukan diriku disini. Aku mulai berani berbicara dan mengobrol dengan perawat tersebut. Aku sering tersipu ketika perawat itu menggodaku bahwa aku menyukai perawat cantik diseberang sana.

Kian hari aku semakin dekat dengan perawat tua ini. Dia bisa menjadi orang tuaku, sahabatku, saudaraku, semuanya. Dia bisa memerankan semua peran yang aku butuhkan.

Suatu pagi, perawat itu datang ke kamarku, dan aku sedang asyik bergumul dengan angan-anganku. Dan aku sangat kaget sekaligus kikuk setengah mati, ketika dia datang dengan bidadari yang selama ini kekagumi keindahannya dari kejauhan.

Entahlah saat itu bagaimana, raut mukaku sangat-sangat panas. Aku benar-benar bahagia, melebihi ketika aku kecil dulu mengidamkan seorang perempuan dan dia menyapa namaku. Aku ada, aku Ono.

--------------------------------------------------oOo---------------------------------------


Apakah Tuhan tidak pernah mengijinkan aku bahagia? ya, aku ingin berteriak dan memaki Tuhan.

Waktu di Rumah Sakit ini berjalan begitu cepat, dan apa yang tak pernah aku bayangkan datang dengan tiba-tiba. Di hari itu keluargaku datang dan menjengukku, tapi tak berapa lama Dokter memutuskan aku sudah sembuh total.

Aku benci ini, aku seharusnya disini, aku sudah gila dan tak mau kembali normal. Kembali ke rumah adalah ke neraka yang selalu kutakutkan.

Hari itu juga aku pulang dengan mobil tetangga yang berbaik hati mau membantu keluargaku. Aku tidak siap untuk ini, otakku yang bodoh tidak siap untuk berpikir macam-macam karena ini berlangsung sangat cepat.

Aku kembali ke neraka, rumah rasa neraka. Tak ada satupun kegiatan yang bisa kulakukan di rumah selain melamun memikirkan Yuliana, perawat bidadari yang selalu memenuhi setiap jengkal pikiranku.

Kadang aku bermain mengunjungi kebun belakang, menatap jauh ke langit barat. Melihat awan-awan yang berarak. Membayangkan bahwa awan itu ada diatas RSJ Solo dimana Yuliana dengan telaten dan perhatian merawat pasien di rumah sakit itu yang kadang membuatku cemburu. Ah indahnya.

Setiap sore aku ke kebun belakang, berlari dari semua kenyataan yang menyakitkan. Dimana keluargaku semakin dikucilkan oleh tetangga-tetangga, mamakku baru saja bertengkar hebat dengan tetangga didepan rumah. Ya, aku sudah datang kembali ke neraka.

Aku semakin tak betah dengan semua keadaan ini, aku marah ingin meluapkan semua beban yang ada. Tapi bagaimana?

Hingga tiba suatu hari, mamakku kembali bertengkar hebat dengan tetangga depan rumah. Mereka saling teriak-teriakan dan mengejek, aku tak tahan. Kuambil kayu yang ada didekat pintu, tanpa banyak bicara aku bergegas lari menerjang ke rumah tetangga depan. Sontak tetangga depan kaget bukan kepalang karena aku berlari kesetanan. Sesampai disana, aku hantam dengan keras kaca dirumahnya hingga pecah, sambil berteriak kesetanan.

Sontak para tetangga datang dan berteriak "Ono kumat!!" bersahut-sahutan. Aku merasakan kehadiranku lagi. Sempat kulihat mamakku menangis keras dan berusaha mengejarku tapi urung karena sudah di tarik oleh beberapa tetangga yang ketakutan jikalau aku melukainya.

Aku semakin tak terkendali, ide gilaku muncul. Aku ingin gila, aku ingin pulang ke RSJ, aku ingin bertemu Yuliana. Beberapa pemuda berusaha mengepungku, tapi tak mempan. Tenagaku masih penuh, masih cukup untuk menghajar mereka.

Sudah sejaman dan mereka urung menangkapku yang semakin menggila dengan berteriak dan tertawa keras. Aku merasakan kembali sensasi yang dulu pernah aku rasakan di luar pulau.

Hingga polisi tiba dan menyergapku dari semua arah, aku menyerah. Aku kalah untuk menang, aku merasa aku akan kembali lagi ke rumah.

Dua hari aku diikat didalam kamar, karena semakin menggila dan terus berteriak tak karuan, akhirnya dihari ketiga aku dibawa ke Solo. Di sepanjang jalan aku tersenyum bahagia. Aku datang, aku pulang.

--------------------------------oOo----------------------------------------

Entah berapa lama aku meninggalkan tempat ini, banyak yang berubah. Baik penghuni maupun perawatnya. Namun aku masih sangat berharap Yuliana hadir lagi. Aku menanti surga yang setiap malam kuimpikan.

Sehari, dua hari, tiga hari perawat tua yang dulu merawatku tak muncul lagi. Yuliana pun tak kunjung muncul.
Dan entah mengapa, aku menjadi sangat risau.

Benar saja, sudah sebulan dan kedua perawat yang kuharapkan pertemuan dengan mereka tak kunjung datang. Aku ingin menangis. Untuk pertama kalinya aku merasakan kehilangan yang amat sangat. Kehilangan mimpi, kehilangan harapan, kehilangan cinta, dan yang paling kutakutkan kehilangan eksistensiku. Aku sudah tiada, aku tamat.

--------------------------------oOo--------------------------------------

Disuatu pagi, ketika menemani bunda mencari sarapan di kota, beliau bercerita banyak. Di salah satu ceritanya, beliau bertanya padaku.

"Masih ingat Ono?"

"Iya bun, kenapa? Pa kabar dia ya?"

"Keluarganya pindah, keluarga Mbah Nem (orang tua angkat mamak Ono) mengusir mereka dari tanah yang selama ini mereka tempati. Ono sendiri sudah meninggal, kata dokter RSJ Solo sakit jantung. Meninggalnya mendadak, tapi waktu bunda lihat mayatnya ada bekas tali di lehernya. Kasihan sekali dia, padahal dia anak yang baik".

Ya ALLAH, Inalillahi. Aku lunglai, bisu. Darahku berdesir.

Mungkin dia tak ada sekarang, dan dulupun mungkin  sama, tapi dia pernah ada dalam cerita hidupku dan menjadi sahabat karibku mengarungi cerita di kebun belakang. Dia orang yang baik, teman yang setia, tulus, apa adanya. Selalu menolongku dan membelaku tanpa meminta imbalan balik. Dia hanya bodoh, karena tak bisa menulis dan membaca, tak lebih.


Untuknya aku berdoa semoga ALLAH memberikan tempat yang indah yang tak dapat dia temui disini, di panggung dunia ini. Dia Ono, dan dia memang ada untukku. Bekas kenangan bersamanya akan selalu Ono, selamanya.

In memorian:
Wahono (19xx-2007).

Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama