Percakapan sepi

Di ujung jalan, tidak ada pijar, gelap menerawangi setiap sudut jengkal kehadiran. Suara desir daun yang bergesekan, serangga yang berderik bersahutan, sesekali ranting ikut tergesek diantaranya oleh sapaan angin seolah ingin memberontak, muncul dan menggugat kelam yang begitu berkuasa.

Desah itu tak terlihat, bahkan diantara desau dan desis. Ujungnya tak terlihat, tapi niatnya meletup berapi-api. Andai, api itu menjilat sepah pelapah yang bermandikan minyak jelantah, pasti merona.

Tiada yang menebak, dibalik sesosok hitam serupa apa warna hatinya.

"Jika angin membunuhku sekarang, jasadku takkan meminta kerinduan yang melarut-larut seperti ini", tarikan nafasnya berat. Tarikannya sekilas terdengar berat, sebelum kicau malam menelannya kembali mentah-mentah.

"Kubiarkan esok pagi hingga senja, surya meleburkan jasadku dengan api moksa. Kuikhlaskan pada rumput menjadi perantara bagi ruang-ruang perut yang selalu lapar untuk incip mengincip yang aku tinggalkan".

"Dan jika Juli, datang membawa hujan. Seperti beberapa kemarau yang lalu. Biarlah dia memandikanku, rindu-rinduku yang kerontang biar terlarut bersama air-airnya meresap ke dalam jauh di tanah-tanah berdebu ini."

"Yang kutunggu, hingga tiba semua kembali utuh disana, kecuali kerinduan. Yang ingin kubunuh dengan angin, yang ingin kubakar dengan surya, yang ingin kularut dengan hujan  bulan Juli ini, dan yang ingin sebar pada perut-perut kerontang."

"Tapi, semudah itukah?"

Angin bergerak deras, dari tenggara menuju barat. Menghembus kencang sesaat sebelum meleraikan gemeresik dedaunan dan ranting pada sunyi yang mendera.

"Pun, hatiku tak lekang. Aku dalam siksaan abadi".

Pijar merona di ujung jingga datang. Tak disadari mungkin, oleh pemilik-pemilik rindu yang sepi, yang ramai dalam derita abadi.

"Aku mungkin abadi, pada diam yang bisu, yang kusembunyikan dalam keramaian malam di ujung jalan".

Sesosok gelap untuk beranjak, menerjang perdu yang melalang. Bergerak menyongsong arah mentari. Samar terlihat jingga memanjang di balik gunung.

"Biarlah aku begini, derita ini kebahagiaan. Tak butuh pelampiasan, hanya butuh sedikit waktu untuk berteman".

Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama