Secangkir Pagi

Sepi,
terserap habis semua kicauan riang di ujung sana, tanpa sisa sekalipun

Aku terjaga sesaat dari yang kuharapkan sebagai kenyataan, dan ternyata itu bukan. Kutampar pipiku dan sekali lagi kusadari dengan kenyataan penuh, itu dan tadi adalah mimpi, bukan kenyataan yang kuharapkan. Mendesir didadaku, rasa yang begitu akrab denganku. Pahit.

Sejenak aku terdiam, memanggil kembali perca-perca jiwaku yang enggan beranjak dari sana, walau dengan sadar kuharap semua jiwaku bisa kembali kesana dan bersepakat semua, bahwa disana adalah kenyataan yang sesungguhnya. Hingga kusadar terlalu naif semua harap dan anganku, bahkan untuk membayangkannya sekalipun. Sejenak berlalu dan aku tersenyum.  Tersenyum untuk alasan yang tak pernah kutahu. Dan kusadari dengan setengah penuh kesadaran, hanya akan membuang waktuku jika aku memaksakan untuk menemukan alasan-alasan itu.
Aku kehilangan keriuhan hangat yang biasa menyambut pagi. Si desir angin, si burung yang berkicau parau namun selalu merdu untuk diperdengarkan, si bocah-bocah seberang yang biasa bernyanyi riang untuk satu atau lebih lagu yang semakin asing untukku. Semua keriuhan yang kukenal dan kurahapkan seperti terserap ke dalam sepi dan termasuk aku ikut terhisap, memandang canggung dan bingung sekitarku. Pada dinding kamar yang sejenak tak kukenali lagi.

Lagi-lagi aku tersadar, untuk kedua kali aku memandang bingung. Sepi ini terlalu lihai melemparkanku dari satu perasaan ke perasaan lain tanpa mampu aku cegah datang dan perginya. Aku hamba sahaya bagi diriku sendiri, hamba sahaya yang hilang akal sehat untuk memahami ini dan itu, itu dan ini. Dorongan perintah yang segera saja aku laksanakan. Badanku seperti telah bersekongkol untuk menjalankan perintah secara membabi buta, tanpa penolakan.

Tak ada yang bisa aku dengar lagi, selain sepi yang mendengung. Rintihan yang menghisap hingga batas akhir   kesadaraanku. Inginku lari dan lari keujung yang semua gelap. Sepertinya sudah kutemukan, alasanku untuk tak tersenyum lagi.

Dalam seluruh kelunglaian, aku mencoba menggerakkan sebelah tanganku yang terasa teramat lelah untuk bergerak. Mengambil sekotak kecil peralatan yang selama ini menjembataniku berkomunikasi dan melihat dunia luar yang selalu riuh sepanjang waktu. Ketika meraihnya, tanganku begitu cekatan memenekan-nekannya tanpa perlu kuperintah lagi. Hingga pada satu titik, aku sudah memandang namanya di peralatan mungil itu.

Sejenak lalu aku merindui nama ini, oh..bukan bukan. Sejenak lalu aku bersama dia, disana, di tempat yang enggan kutinggalkan jiwa-jiwaku. Aku terdiam, menjadi lebih sepi dari sepi yang kurasakan ini. Duniaku menjadi terasa beragam namun sepi, entah seperti apa. Namun satu hal yang pasti aku sadar, hatiku sedang berteriak hebat tanpa siapapun bisa mendengar. Kesadaran yang lagi-lagi membuatku tersenyum tanpa alasan.

Aku dan dia telah berpisah, menempuh jalan masing-masing, sudah sebulan lebih yang lalu. Awal perpisahan yang sulit, lalu menjadi lebih baik keadaannya untuk berpisah. Ya berpisah, selebih baik apapun itu, kau pasti tahu seperti apa rasa berpisah itu. Sakit dan sepi.

Akal, logika, pun badanku begitu mudah menerima perpisahaan ini, dan aku ingin bersama mereka. Tapi ada satu yang sulit untuk menerima ini, hatiku, perasaanku. Dia yang selalu menjerumuskanku pada sudut-sudut yang sepi dan perih. Aku selalu membencinya tanpa daya. Tanpa bisa aku lawan, sama sekali.

Lalu sampailah aku disini, di tempat ini, pagi yang sepi, melihat dia dari kotak sempit. Terhimpit diriku pada sesuatu yang tidak aku mengerti. Senyumku telah hilang, beberapa saat yang lalu. Senyumku mungkin sedang menertawaiku bersama sepi yang seolah-olah begitu puas melihat keadaan diriku saat ini. Andai ada cermin, pun dia akan menertawaiku bersama. Argh..

Mungkin akal dan logikaku yang masih bersamaku, hingga sekarang masih sepaham dengan apa yang telah aku putuskan sebulan lebih yang lalu. Dunia ini sempit untuk perasaan kurasa, namun yang kuheran mengapa dia begitu berkuasa di dunia yang sempit baginya. Setidaknya aku tak sendiri walaupun aku rasa, akal dan logika terlalu sering menghilang meninggalkan aku sendiri di dalam satu ruangan tak tertembus, berdua dengan perasaanku.

Yang terakhir kulakukan, sangat terakhir mungkin, aku hanya melihat dan memahami semua kondisi dari sudut pandang akal dan logikaku. Kekuatan terakhir yang tersisa yang aku punya, ketika akal dan logikaku sedang benar-benar pergi. Dengan mengucilkan perasaanku, aku tentu berharap banyak bahwa dia menemukan apa yang tidak dia dapat dan temukan bersamaku. Berharap dia bisa lebih sering tersenyum bahagia dibandingkan saat bersamaku, dan sebagainya dan sebagainya. Semua untuk kebahagiaan baginya. Kebahagiaan yang sering dia ceritakan kepadaku, dan sering aku diamkan. Bukan angan tentang kebahagiaannya yang aku tak suka, tapi selalu aku sadari, sangat sulit untuk kuwujudkan untuknya. Aku orang pesimis mungkin kau anggap, tapi bukanlah itu. Aku orang realistis, terlalu realistis. Aku terlalu mempertimbangkan waktu dan kemampuan terlalu matang, hingga lupa untuk melangkah. Aku terlalu diam untuk diriku yang seharusnya berlari.

Sampai disitulah dan kurasa sepi mulai berpendar, sejenak kudengar ayam jago berkluruk mendayu-dayu, menyambut sinar pertama yang berhasil menerabas kokohnya gunung di ufuk timur sana. Perasaanku mulai memudar, akal dan logikaku mulai kembali menjadi utuh, walaupun belum sepenuhnya, dan mungkin tak akan pernah utuh seutuhnya dengan masih hadirnya perasaanku.

Aku memandang cemburu, kepada dirinya, dan aku memandang benci, kepada diriku. Selalu seperti ini dan seperti ini, kemarin dan mungkin berlanjut esok-esok hari. Aku dan dia tak mungkin bersama lagi, dan aku berharap dengan akal dan logikaku untuk tak bersama lagi dengan dia dengan status yang kujalani hampir 4 tahun berlalu. Membiarkan dia terbang tinggi, dengan sayap indahnya, dengan pangerannya berjalan di awan-awan dan melihatnya dari bawah tentu akan menyiksaku pelan-pelan meninggalkan sakit yang tak terobati, hingga mungkin bisa membunuhku. Tapi aku sadar, itu takkan pernah terjadi, takkan bisa sakit itu membunuhku, karena kebahagiaanku atas kebahagiaanya akan memberiku kekuataan yang lebih dan lebih untuk hidup dan bertahan.

Ini hanya sebuah rutinitas tanpa batas waktu yang aku jalani, aku tak bisa menolak dan hanya pasrah untuk merasakannya. Kadang rasanya menusukku hingga kebatas sakitku, dan pada akhirnya, ketika secangkir kesepian di pagi ini memudar, aku akan tersenyum, untuk alasan yang sedikit demi sedikit kusadari.

Pagi beranjak, siang menyambut lalu datang petang, dan aku selalu yakin bisa bercumbu dengan petang hingga pagi menyingsing. Pagi yang kuharap tak akan pernah diam lagi, karena doa-ku akan kusebar sepanjang malam agar menjadi selimut baginya. Kehangatan yang menjaganya tanpa dia sadari. Dan itu lebih dari cukup untuk mendamaikanku dengan perasaanku. Pelan dan pelan, aku yakin perasaanku akan berbaik lagi padaku, menyingsing senja kembali untuk bercengkerama dengan malam-malam yang panjang. Pelan dan pelan, menawarkan akal dan logikaku untuk mengenangnya dengan cara terindah. Mencintainya tanpa pernah menyakitinya lagi, tanpa pernah menyakitinya lagi.



Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama