Percakapan Pagi

"Lalu, apa keputusanmu?"
Sunyi mengambil jatah waktu diantara percakapan pagi setelah pertanyaan tadi. Detik jam di ruang tengah seolah bersuara begitu keras, meluapkan rasa ketiadaan dia di panggung-panggung waktu, walaupun dia selalu menjadi pemeran utamanya.
Giliran angin sepoi-sepoi menyentuh ranting-ranting kering yang menyisakan 1-2 daun yang mulai layu menunggu "masa".
Hidup seolah sebuah kegetiran, kesendirian tak berujung, dan penantian yang tak pasti.
"Entahlah" Samar, hampir selembut sapaan angin pada ranting, nyaris tak terdengar.
"Setiap insan adalah representasi cerita yang tak pernah sama, waktu akan berputar pada patch-nya, tapi tidak dengan cerita kita. Ada yang berubah disana, tak selamanya akan mengalir pada jalur-jalur yang kau harapkan"
"Aku tahu" Kujawab dingin.
Pertama kali sinar mentari menyapa, dingin menyingsing untuk beberapa saat. Pelan dan pelan. Ini musim kemarau yang hampir tak berujung, mengenalkan dingin kemarau yang begitu menusuk hingga ke sumsum terdalamku. Angin kemarau ini terlalu banyak membawa cerita, yang tak seharusnya dia bawa. Aku ingin mencegahnya, tapi dimana dia?Aku bahkan tak pernah melihat wujudnya, walau aku dengan sadar merasakan kehadirannya.
Tentang dia, ini musim kemarau ketiga setelah pertengkaran hebat kami. Dia lama hilang, sampai angin sialan itu datang. Angin kemarau di pagi hari yang menceritakan kembali fragmen-fragmen kisah indah kami.
Kami berbeda, dan sangat berbeda. Bukan saja dari fisik, tapi dari semua sisi cara pandang. Aku suka A, maka dia benci A dan suka B. Jika dia memutuskan C, maka aku menolaknya dan memaksakan pilihan R, seterusnya dan seterusnya.
Tuhan sutradara yang tak tertebak, 6 musim kemarau yang lalu aku dipertemukan dengannya. Sedari awal kami tahu kami sangat berbeda, tapi Tuhan menitipkan 3 musim kemarau untuk kami lalui bersama, dengan segala perbedaan yang ada.
Indah dan bahagia, dan aku merindukan 3 musim kemarau pertama itu. Kami bisa berbagi diantara perbedaan kami, bisa melengkapi untuk kekurangan masing-masing, saling mengisi dan menjaga satu sama lain dan beratus-ratus kebahagian-kebahagian yang lain, yang mengiringi perjalanan musim kemarau ke musim penghujan dan seterusnya. Semua berlalu begitu mengalir hingga kami merasa bisa menyatu.
Hingga tiba, aku mulai gamang dengan arti "kita", dan kurasakan ia juga sama sepertiku.Aku dan entah, mungkin dia juga, mulai kehilangan makna "kita", kami bersama tapi terpisah secara ruhiah, dia jauh bagiku. Atau mungkin aku yang telah jauh dariku sendiri semenjak bersamanya. Aku benar-benar bimbang dan blank saat itu.
Aku mulai mencari "perbedaan" kami yang dulu, dan mungkin dia juga sama. Hingga pada suatu titik.
"Jangan terlalu kau paksakan"
Dem, dasar pengganggu!
"Tak selamanya peran itu indah saat terwujud seperti yang kau inginkan, seperti angin ini. Dia sungguh-sungguh berontak akan musim kemarau yang berkepanjangan ini. Seolah tak ada lagi musim penghujan yang akan menyapa dunia ini. Dia selalu bergerak, dalam bisu, mencari pelarian dan usaha untuk menghilangkan peran. Tapi apa jadinya? Semakin dia berlari melepaskan peran, semakin kuat dia memegang peran itu"
Dia tak memberiku kesempatan untuk melanjutkan penelusuran puing-puing masa lalu.
Aku terdiam, bingung dan bimbang.
"Kau tak harus selalu bersamanya, tak perlu menjadi bayanganya, tak perlu menjadi Arjunanya. Jalan kalian indah ketika kalian mengalir pada peran kalian, tak usah di paksakan".
Aku menyeruput teh hangat didepan meja. Ah, kenikmatan teh ini seolah melonjak seribu kali lipat, dari yang biasa kurasakan. Walau dengan sadar, teh itu tak beda dengan yang sebelumnya.
"Cintailah dia seperti angin pada ranting tua itu".
Terdengar tarikan nafas yang dalam, dan sunyi sejenak.
"Kau tak perlu ranting tua itu tahu, kau yang membantunya menyebarkan benang sari, membantu mengguggurkan daun-daun tuanya, atau kau yang mendatangkan hujan jika saatnya tiba. Kau hanya memerankan apa yang sudah kau perankan selama ini, dan jalani saja."
Aku masih terdiam, tapi kemudian tersenyum, kutolehkan pandanganku.Kosong, dia sudah pergi rupa-rupanya.
Kulihat tepat di depanku ranting tua yang bergerak malas-malasan menutupi sinar mentari yang mulai menyilaukan. Kuseruput sisa teh ku yang mulai mendingin.
"Angin sialan, sempat-sempatnya kau menasehatiku setelah kau korek-korek kisah lamaku."
Aku beranjak masuk, meninggalkan cerita diluar, dan berharap si Angin sialan itu tak datang lagi esok. Karena aku sudah terlalu rindu dengan hujan.

Comments

Popular posts from this blog

tidurlah di bawah rembulan

Pujangga Malam

Tanpa nama